hancau – KH Muhammad Nur Takisung dikenal sebagai Guru Tarekat. Dari mana ilmu itu didapatkan dan pada siapa saja ilmu itu diajarkan.
Diceritakan putra KH Muhammad Nur, H Abul Hamim, sekitar 20 tahun sepeninggal kakeknya (Guru Ibrahim Khaurani), ada beberapa keluarga yang mengingatkan bahwa sang kakek adalah seorang tokoh agama. Untuk itu, mereka menginginkan Guru Muhammad Nur-lah yang meneruskan pengajaran yang telah ditempuh leluhurnya, yakni tarekat Naqsyabandiyah.
Namun, permintaan tersebut tidak langsung diamini oleh Guru Muhammad Nur. Dia menunggu isyarat untuk mengajar.
“Waktu itu ayahanda Guru Muhammad Nur, bukan ragu tapi punya aturan bahwa belum ada isyarat untuk menularkan itu, makanya ayahanda waktu itu sibuk dengan usaha berdagang, sopir, terus yang terakhir menjadi petani,” jelas H Abul Hamim.
Saat menjadi petani, Guru Muhammad Nur kembali mendalami ilmu yang telah didapatnya dari ayahnya. Kemudian, mulai mengajarkan ilmu tarekat itu pada anak-anaknya.
“Pertama kali menjadi petani di daerah Satui sekitar tahun 1951 pasca melepas baju revolusi. Terakhir Ayahanda waktu itu pembebasan Kotabaru tahun 1946 habis pembebasan Kotabaru, beliau gantung baju, lalu beliau membuka lahan di Satui,” ungkap putra kelima Guru Muhammad Nur itu.
Sebelum membuka pengajian tarekat di Takisung, Guru Muhammad Nur sempat berkhalwat untuk melazimkan ilmu tauhidnya di Desa Kintap. Di sana, dia sempat mengajarkan ilmu tarekat kepada sejumlah muridnya.
Kemudian, Guru Muhammad Nur pindah ke Desa Takisung dibawa Sang Ayah (Guru Khaurani) ke pinggir pantai. “Alasan kakek itu mencari tempat untuk menyepikan diri karena beliau mempunyai ilmu sambil mengajarkan kepada murid dan anak-anaknya,” jelas H Abul Hamim.
Setelah mendapat isyarat untuk menularkan ilmu, Guru Muhammad Nur mulai mengajarkan di lingkungan keluarga dulu, sebelum mengajarkan ke masyarakat umum.
“Kakek dulu setiap menularkan ilmu selalu menjadi masalah di masyarakat. Masalah itu timbul bagi orang yang kurang paham, makanya waktu itu beliau (Ayah) butuh kehati-hatian agar tidak menjadi masalah di masyarakat luas,” terangnya.
Bagi yang memahami, tarekat ini bisa diterima. Namun jika belum memahami, maka sulit untuk menerimanya.
”Beliau selalu bicara masalah hakikat, masalah hakikat inikan masalah ghaib (tidak nampak). Suatu yang hakikat itukan suatu yang tidak terlihat, kadang-kadang di luar nalar bagi yang pernah masuk di dalamnya tidak masalah,” urainya.
Contohnya begini, kata H Abul Hamim, bicara masalah mimpi, tapi orang yang menerima cerita itu orang yang selalu bergaul dengan orang yang bisa menerjemahkan mimpi. Sehingga, pembicaraan pun nyambung. Hal itu tentu berbeda jika mimpi dibicarakan pada orang “awam”.
Guru Muhammad Nur mengajarkan tarekat mulai 1977 dan banyak membimbing murid yang tersebar di Pulau Jawa dan Kalsel. Di wafat dan dimakamkan di Desa Takisung, Kecamatan Takisung, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan pada Rabu 25 Jumaddil Awal 1414 H atau 10 November 1993 M.
Guru Muhammad Nur wafat di usia 78 tahun.
Siapa pewaris Tarekat Naqsabandiyah sekarang?
H Abul Hamim mengatakan, semua anak diwariskan ajaran tarekat, tetapi yang berpotensi mengajar hanya Haji Abdul Hamid (anak kedua).
“Kadang-kadang orang yang datang ingin belajar ilmu tarekat itu, kami berlima mengasih dulu alamatnya di dalam mimpi.
Lalu siapa yang ketemu nanti di dalam mimpi, ketemu dengan siapa yang harus menjadi gurunya salah satu kami berlima,” ujarnya.
Sebab di dalam ilmu tarekat itu, kata H Abul Hamim, tidak ada rumusnya. Itu hanya mimpi diberi petunjuk.
“Kami di sini bukan menerima pendidikan untuk tarekat, tetapi kami menerima orang yang mau belajar dengan catatan cukup syarat. Syaratnya harus memahami baca tulis Arab, salatnya tidak ketinggalan, mengetahui ilmu tauhid, mengetahui sifat 20,” bebernya.
Baca juga: Mengenang KH Muhammad Nur (1): Guru Tarekat dari Takisung, Keturunan Datu Abulung
One Reply to “Mengenang KH Muhammad Nur Takisung (2): Awal Mula Mengajarkan Tarekat”