Membedah Pasal Kontroversi

Membedah Pasal Kontroversi Omnibus Law, RUU Cipta Kerja

hancau.net – Kali ini kita akan membedah pasal kontroversi Omnibus Law, RUU Cipta Kerja. Kenapa kontroversi? Karena ada yang menolak, ada pula yang mendukung.

Membedah pasal kontroversi layaknya membuka durian mentah yang agak masak, keras dan berduri.

Palu telah diketok, menandakan telah disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja oleh DPR, Senin (5/10). Pengesahan RUU Cipta Kerja ini bersamaan dengan penutupan masa sidang pertama yang dipercepat dari yang direncanakan, yang semula 8 Oktober 2020 menjadi 5 Oktober 2020.

Di dalam rapat 2 dari 9 fraksi perwakilan partai di DPR, yakni PKS dan Demokrat kembali menyampaikan penolakannya atas pengesahan RUU Cipta Kerja.

Perwakilan fraksi Partai Demokrat meminta DPR dan pemerintah harus berpikir panjang untuk mengesahkan RUU Sapu Jagat tersebut. Pembahasan RUU Cipta Kerja antara DPR dan pemerintah juga dinilai terlalu tergesa-gesa. Padahal, pasal-pasal yang terdapat di dalam RUU tersebut berdampak luas pada kehidupan masyarakat.

Senada, fraksi perwakilan PKS menolak pengesahan RUU Cipta Kerja, sebab pembahasan RUU Cipta Kerja di tengah pandemi Covid-19 sangat membatasi keterlibatan publik. Tidak hanya itu, banyak pihak yang telah menyuarakan penolakan terhadap RUU Cipta Kerja.

Sejak awal isi Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini diprotes buruh dari berbagai elemen. Lalu, apa saja sebenarnya hal-hal dalam RUU ini yang membuat buruh sangat keberatan?

Daripada kebanyakan intro, mari langsung saja kita membedah pasal kontroversi Undang-Undang Sapu Jagat ini.

  1. Upah minimum

Salah satu yang ditolak serikat buruh adalah penghapusan Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) dan diganti dengan Upah Minimum Provinsi (UMP). Penghapusan dan penggantian aturan itu dinilai berpotensi membuat upah pekerja lebih rendah. Penetapan UMK dan UMP didasarkan atas perhitungan Kebutuhan Layak Hidup (KLH).

  1. Jam lembur lebih lama

Dalam draft Omnibus Law bab IV tentang ketenagakerjaan pasal 78. Disebutkan bahwa waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 4 jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu. Ketentuan jam lembur itu lebih lama dibandingkan dalam UU Nomor 13 tahun 2003, yang menyebut kerja lembur dalam sehari hanya 3 jam dan 14 jam dalam seminggu.

  1. Kontrak seumur hidup hingga rentan PHK

Dalam RUU Cipta Kerja salah satu poin pada pasal 61 mengatur perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai. Sementara, pasal 61 A menjelaskan ketentuan kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan kompensasi yang hubungan kerjanya berakhir.

Dengan aturan ini, RUU Cipta Kerja dinilai merugikan pekerja karena ketimpangan relasi kuasa dalam pembuatan kesepakatan. Adanya hal ini maka berpotensi membuat status kontrak para pekerja menjadi abadi, bahkan pengusaha dinilai bisa mem-PHK pekerja sewaktu-waktu.

  1. Pemotongan waktu istirahat

Pada pasal 79 ayat 2 poin B, dikatakan waktu istirahat mingguan adalah satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu. Selain itu dalam ayat 5, UU ini juga menghapus cuti panjang 2 bulan per 6 tahun.

Cuti panjang disebut akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Hal tersebut jauh berbeda dari UU Ketenagakerjaan sebelumnya yang menjelaskan secara detail soal cuti atau istirahat panjang bagi pekerja yang telah bekerja selama 6 tahun di perusahaan yang sama.

  1. Mempermudah perekrutan TKA

Pasal 42 tentang kemudahan izin bagi Tenaga Kerja Asing (TKA) merupakan salah satu pasal yang paling ditentang serikat pekerja. Pasal tersebut akan mengamandemen pasal 42 UU Ketenagakerjaan Tahun 2003 yang mewajibkan TKA dapat izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.

Jika mengacu pada Perpres nomor 20 tahun 2018 diatur bahwa TKA harus mengantongi beberapa perizinan, seperti rencana penggunaan TKA (RPTKA), Visa tinggal terbatas (VITES), dan izin menggunakan tenaga kerja asing (INTA).

Pengesahan RUU Omnibus Law akan mempermudah perizinan TKA, karena perusahaan yang menjadi sponsor TKA hanya perlu RPTKA saja.

  1. Pengurangan pesangon

Buruh menolak pengurangan pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan, dimana 19 bulan dibayar pengusaha dan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan.

  1. Hak dalam cuti haid dan melahirkan hilang

Para buruh menolak jam kerja yang eksploitatif, hak cuti hilang hak upah atas cuti itu juga hilang. Cuti haid dan melahirkan bagi pekerja perempuan hilang, karena upah saat mengambil cuti tersebut tidak dibayarkan.

Hal ini pun dipermasalahkan oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal. Namun, belakangan Menteri Koordinator bidang perekonomian, Erlangga Hartarto menjamin RUU Cipta Kerja tersebut tidak akan menghilangkan hak cuti haid dan cuti hamil yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan.

Di tengah lantangnya penolakan dari berbagai elemen masyarakat sipil, DPR RI tetap mengesahkan Omnibus Law RUU Cipta kerja. Langkah ngebut pemerintah dan DPR ini terbilang kilat dibandingkan dengan pembahasan RUU lainnya. Klaim mereka bahwa RUU Cipta Kerja akan memberikan manfaat bagi pekerja. Apakah benar adanya? Atau justru  sebaliknya? (fix)

Sumber: Tribunnews

Editor:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *