hancau – Kali ini kita akan membahas terkait tuyul, tentang asal usul tuyul serta perkembangannya di dalam masyarakat. Kita akan membahas tuyul dari perspektif budaya.
Tuyul merupakan salah satu makhluk mitologi di Indonesia, tetapi memiliki umur yang sangat pendek.
Kita tidak akan menemukan kata ‘tuyul’ dalam naskah-naskah kuno Jawa, begitu pula dengan naskah kuno masyarakat lainnya selain Jawa.
Namun, kita justru akan menemukan kata ‘toyol’ di Malaysia, tetapi memiliki umur yang lebih pendek daripada tuyul versi Indonesia. Kita tidak akan menemukan kata tuyul sebelum tahun 1900-an.
Tuyul merupakan makhluk yang sangat menakutkan dan aneh, tetapi umurnya masih pendek. Sependek penggambaran makhluk tersebut, yaitu pendek, kecil, botak, berperilaku seperti anak-anak, bisa mencuri, dan lain sebagainya.
Asal Usul Tuyul
Dukun-dukun dan para ahli spiritual bisa berbicara tentang tuyul dan bagaimana cara mendapatkannya. Namun, jika kita menelisik dari kacamata budaya, dari manakah asal muasal tuyul?
Catatan akademik paling awal tentang tuyul ditulis oleh Clifford James Geertz, seorang ahli antropologi asal Amerika. Dia pernah berdiskusi dengan seseorang tentang tuyul ketika meneliti Jawa Timur sekitar tahun 1953.
Di buku tersebut menjelaskan, bahwa tuyul itu menyerupai seperti apa yang kita bayangkan sekarang.
Hal yang unik adalah bahwa tuyul tidak pernah dibahas dimanapun di Indonesia sebelum tahun 1930-an.
Senada dengan seorang akademisi Belanda, Peter Boomgaard, dia menyebutkan bahwa sektiar tahun 1860 hingga 1895 ada dua buah buku yang membahas terkait budaya Jawa.
Salah satunya dicatat oleh seorang misionaris. Di buku tersebut ada makhluk mitologi yang digambarkan serupa dengan tuyul, tetapi namanya bukan tuyul. Namanya ‘gundul’ atau ‘setan gundul’.
Jadi secara tradisional, masyarakat Indonesia mengenal si gundul dengan wujud dan karakter yang sama persis dengan tuyul. Tetapi, kata ‘tuyul’ sendiri bukan dari Indonesia. Istilah tuyul entah pinjaman darimana. Penasaran? simak sampai habis ya.
Dilihat dari sumber kata, tidak mungkin dari bahasa sanskerta dan tidak mungkin pula ini didapatkan dari bahasa rumpun austronesia.
Usut punya usut, ternyata tuyul berasal dari Korea Selatan. Kok bisa?
Tuyul Berasal dari Korea Selatan
Sepanjang kawasan Asia Tenggara, kita tidak akan menemukan kata tuyul, hanya toyol di Malaysia. Tapi, seperti yang sudah dijelaskan di awal, bahwa umur toyol sendiri lebih muda daripada tuyul yang ada di Indonesia.
Di Filipina ada tiyanak, makhluk kecil dan botak, namun tidak mencuri. Di Thailand dan Cina juga tidak ada.
Satu hal yang harus kita ingat, bahwa bahasa di Indonesia banyak bersumber dari Asia Tenggara. Misalkan kata kampung, di Kamboja disebut campong. Beralih ke Aceh menjadi gampong, beranjak ke selatan menjadi kampuang, kemudian di Sunda jadi kampung.
Tapi kata tuyul tidak ditemukan di mana-mana, kecuali di Korea Selatan. Korea Selatan memiliki makhluk mitologi, botak dan juga mencuri, dia dikenal dengan sebutan Do Yeol.
Kata ‘do yeol’ jika dialihbahasakan ke bahasa Indonesia secara serampangan, secara leksikal akan berubah menjadi ‘tuyul’.
Sebagai orang yang memiliki logika, pastinya bertanya-tanya bagaimana mungkin dari Korea Selatan masuk ke Indonesia.
Dari Korea Selatan ke Indonesia
Kita mesti ingat, bahwa di tahun 1920 hingga 1935 terjadi sesuatu hal yang menghebohkan dunia. Yaitu krisis ekonomi besar-besaran yang berawal dari Amerika Serikat hingga ke seluruh dunia, dikenal dengan ‘Black Tuesday’. Jika dirunut, ini adalah dampak dari perang dunia ke 1.
Indonesia, tanpa terkecuali merasakan dampaknya. Krisis itu disebut ‘malaise’ dan terjadi di Indonesia.
Sebelum krisis itu terjadi, Indonesia adalah salah satu negara eksportir kopi terbesar di dunia. Bahkan 80% kopi yang ada di Eropa saat itu bersumber dari Indonesia.
Tidak hanya kopi, karet dan tebu juga pernah menjadi primadona pada masanya. Indonesia menjadi salah satu penghasil sumber daya yang paling memukau di masa lampau, walaupun waktu itu namanya masih Hindia Belanda.
Di tahun yang sama ada sebuah kejadian yang sangat luar biasa di Indonesia, yaitu berdatangannya orang-orang Jepang yang mengaku sebagai pengusaha namun itu hanya kedok sebagai agen mata-mata.
Pada akhir tahun 1800-an Jepang mengalami Restorasi Meiji, mereka bertekad membalas kekalahannya dari orang-orang barat. Tentu saja dengan menjadi negara kolonial dan menjadi negara industri yang kuat untuk bisa mengimbangi negara-negara barat.
Untuk menjadi negara industri di masa itu, wajib memiliki tanah jajahan.
Di awal tahun 1900-an Jepang sudah mulai cari gara-gara ke wilayah Korea dan Manchuria. Indonesia sendiri sudah menjadi bidikan Jepang sejak lama.
Tahun 1920-an Jepang masuk ke Indonesia sebagai mata-mata. Bahkan ketika itu perwakilan pemerintah Jepang tidak segan-segan mendatangi pemerintah Belanda untuk membantu pembangunan infrastruktur. Tentu saja tujuannya untuk memata-matai.
Terkait dengan kata tuyul, besar dugaan ketika Jepang berbaur dengan masyarakat di Indonesia terjadi percakapan tentang tuyul.
Ingat, Jepang pernah cari gara-gara di Korea dan bukan tidak mungkin beberapa budayanya ada pula yang terikut, salah satunya bahasa dan penyebutan makhluk mitologi di sana.
Kira-kira percakapan antara mata-mata Jepang dan masyarakat Indonesia pada waktu itu seperti ini,
J = Jepang
I = Indonesia
J: “Ooh… di Indonesia ada juga ya yang mencuri seperti itu, kalau di tempat asal saya namanya toyol (pengucapan orang Jepang untuk Do Yeol)”
I: “kalau di sini namanya si gundul”
Transformasi Pengucapan Kata ‘Tuyul’
Pengucapan kata toyol oleh orang Jepang tersebut mengalami perubahan ketika masuk ke pembicaraan sehari-hari orang Indonesia menjadi ‘tuyul’.
Pada masa itu, di Indonesia sedang maraknya pertumbuhan bahasa. Kata ‘gundul’ itu sendiri sudah memiliki makna yang lain (yang berarti kepala botak).
Mungkin saja orang Indonesia di masa itu mengambil keputusan untuk mengubah nama setan gundul menjadi tuyul.
Pada akhirnya ketika Clifford Geertz menulis bukunya di tahun 1954. Kata ‘tuyul’ itu sudah menyeluruh ada di Indonesia.
Entah teori ini benar atau salah, yang jelas kita tidak akan pernah menemukan kata ‘tuyul’ sebelum tahun 1930.
Berbeda dengan makhluk mitologi lainnya seperti gandaruwa, yang kini lebih akrab disebut gederuwo sendiri sudah berumur ribuan tahun di Indonesia. Bahkan di beberapa kitab sastra kuno seringkali disebutkan. Kata ‘pontianak/kuntilanak’ juga sudah ada ratusan tahun ketika masa kejayaan kerajaan Islam, begitu pula dengan ‘Nyi Roro Kidul’.
Sumber: Guru Gembul