bukankoran – Desa Dalam Pagar adalah desa yang dibina Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari sebagai wadah untuk menampung orang-orang yang ingin menimba ilmu kepadanya. Dari desa tersebut keluarlah ulama-ulama hebat yang kemudian dikirim ke berbagai penjuru pulau Kalimantan.
Salah seorang pengajar di Pondok Pesantren Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari di desa Dalam Pagar, Kabupaten Banjar, Guru Muhammad Fadlan menuturkan desa Dalam Pagar berawal dari tanah pemberian Kesultanan Banjar.
“Pada saat Datu Kelampayan (Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari) pulang dari menuntut ilmu di Makkah, pihak Kesultanan Banjar memberikan tanah untuk membuat halaqoh,” ujarnya saat ditemui di kediamannya Desa Dalam Pagar RT. 002 Kecamatan Martapura Timur, Jumat (16/4) sore.
Tanah tersebut menurut Guru Fadlan, berada di perbatasan Desa Akar Baru dan Kampung Melayu, Martapura, namun untuk luas tanah belum bisa dipastikan olehnya.
Selain sebagai tempat pendidikan agama, tanah tersebut juga dimanfaatkan Syekh Muhammad Arsyad sebagai ladang pertanian. Ini terjadi pada tahun 1812 M.
Nah, untuk mengamankan wilayah tersebut, Syekh Muhammad Arsyad membuat pagar sederhana yang diperkirakan dari bambu dan kayu galam.
“Jadi dulu itu, bila orang datang ingin belajar pada Datu Kelampayan, ditanya. Mau ke mana? Dijawab, mau ke dalam pagar (lokasi yang dipagari, red), hingga terkenal tempat tersebut menjadi Desa Dalam Pagar,” ucapnya.
Karena itu, menurut Guru Fadlan, halaqoh itulah yang menjadi cikal-bakal Desa Dalam Pagar.
Dari halaqah tersebut, lahir banyak ulama kenamaan yang kemudian menyebar ke berbagai daerah, utamanya Kalimantan. Seperti Syekh Syihabuddin (makamnya diperkirakan berada di Pekan Baru, Riau), Syekh Abdussamad di Marabahan, Syekh Muhammad Arsyad (Pagatan, Tanah Bumbu), Qadhi Abu Thalhah (Tenggarong), Syekh Muhammad Thayyib (Datu Taniran, Kandangan), Syekh Junaid (Berau, Kalimantan Utara), dan banyak lagi ulama kenamaan lainnya yang tersebar hingga Malaysia dan Brunei Darussalam.
“Tokoh-tokoh besar ini adalah keturunan dari Syekh Muhammad Arsyad, dan disebar ke berbagai daerah,” tutur Guru Fadlan.
Peran halaqoh yang sangat besar manfaatnya bagi umat di Kalimantan ini, terus dilanjutkan anak cucunya hingga ke generasi ketujuh dan berkembang menjadi Madrasah yang sederajat dengan sekolah dasar pada tahun 1931 M.
Madrasah ini mengambil contoh dan corak serta gaya dari Madrasah Thawalib di Padang, Sumatra Barat.
“Makanya kitab-kitab yang kita pakai sekarang banyak dari karangan orang Sumatra, seperti karangan Muhammad Arsyad Tolib Lubis dan dari tanah Jawa,” beber Guru.
Pada tahun 1963 M, kembali diganti dengan nama Madrasah Syar’iyyah yang dibina Tuan Guru Zainal Ilmi. Kemudian pada tahun 1988 M, pesantren tersebut kembali berganti nama menjadi Sullamul Ulum.
“Pergantian nama ini juga berdasarkan saran dari salah satu ulama besar di Banjar, yaitu, Syekh Muhammad Sya’rani Arif. Mengapa begitu? Karena adanya tingkatan tambahan seperti Wustho dan Ulya (setingkat SMP dan SMA, red),” jelas Guru Fadlan.
Hingga pada tahun 1990 M, nama Madrasah Syar’iyyah kembali diganti dengan dinisbatkan kepada pendiri halaqoh, yakni Pondok Pesantren Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari.
“Hingga saat ini, jumlah santri di Pondok Pesantren ada sekitar seribu orang yang berasal dari berbagai daerah di Kalimantan,” terang Guru Fadlan.
Guru Fadlam mengatakan, 90 persen pengajar di Ponpes Syekh Muhammad Arsyad Adalah alumni Ponpes tersebut sekaligus alumni Pondok Pesantren Datu Kelampayan, Bangil, yang didirikan Syekh Muhammad Syarwani Abdan.
“Kenapa banyak dari lulusan Bangil yang mengajar di sini? karena Syekh Muhammad Syarwani dulu pernah mengajar di sini. Ketika beliau pindah ke Bangil (Daerah Pasuruan, Jawa Timur, red) dan mendirikan pesantren, maka murid-murid yang pernah belajar dengan beliau mengikuti jejaknya,” ungkapnya.
Di antara Pimpinan Pondok Pesantren Syekh Muhammad Arsyad adalah Guru Haji Abdul Hamid, kemudian digantikan Guru Haji Fadil Zen, digantikan Guru haji Abdul Murid, dan sekarang dipimpin Guru Haji Mazani.