apahabar.com, MARTAPURA – Dalam suasana Ramadan di Kalimantan, menjadi momentum jihad Pangeran Antasari.
Tepatnya ketika perang banjar meletus untuk pertama kalinya pada Kamis 28 April 1859 M atau bertepatan pada 24 Ramadan 1275 H.
Dari sanalah narasi sejarah perang banjar tertulis, bahwa panji jihad dikibarkan Antasari untuk mengusir penjajah adalah satu, “Jihad fi Sabilillah”.
Diterangkan oleh Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) Kalimantan sekaligus Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Banjarmasin, Mansyur, Perang Banjar (1859-1905) merupan perlawanan masyarakat banjar terhadap kolonial Belanda.
Perang Banjar dimulai dengan pengerangan Benteng Oranje Nassau di Kecamatan Pengaron dengan pimpinan Pangeran Antasari.
“Jika dalam versi Belanda, perang Banjar akan mencapai titik nadir ketika Pangeran Hidayatullah ditipu Belanda dengan terlebih dahulu menyandera Ratu Siti (Ibu Pangeran Hidayatullah, red) kemudian pada hari Minggu 2 Maret 1278 di bawa ke Martapura dan diasingkan ke Cianjur. Ini bertepatan dengan awal Ramadan 1278,” terangnya kepada apahabar.com, Kamis (22/4) melalui whatsaap.
Dilanjutkan lelaki yang akrab disapa Sammy ini, setelah Pangeran Hidayatullah diasingkan, maka perjuangan rakyat Banjar dilanjutkan oleh Pangeran Antasari.
Sebagai salah satu pemimpin rakyat yang penuh dedikasi maupun sebagai sepupu dari pewaris Kesultanan Banjar.
“Juga sekaligus untuk mengokohkan kedudukannya sebagai pemimpin perjuangan melawan penjajah di wilayah Banjar bagian utara (sekarang adalah Muara Teweh dan Sekitarnya, red), maka dalam momentum Ramadan dijadikan untuk pentasbihan,” tuturnya.
Selain itu, pada Jumat 14 Maret 1862, yang bertepatan dengan 13 Ramadan 1278 Hijriah, selruh rakyat, para panglima Dayak, para pejuang, para alim ulama dan bangsawan-bangsawan Banjar dengan suara bulat mengangkat Pangeran Antasari menjadi Penembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin.
“Pada masa itu, pemimpin pemerintahan, panglima perang dan pemuka agama tertinggi, satu kalimat heroik sebagai pembuka momentum ini, yaitu ketika Antasari memulainya dengan seruan (Hidup Untuk Allah dan Mati Untuk Allah),” terangnya.
Menurtnya, walau demikian, pada sisi lain tidak hanya kisah semanis madu yang terukir di Bulan Ramadan dalam narasi sejarah Banjar.
Pada 33 tahun sebelum dimulainya perang banjar, ditandai dengan perjanjian antar Pemerintah Hindian Belanda dengan Sultan Adam.
Pangeran Antasari. Foto-net“Perjanjian itu terdiri dari 28 pasal dan ditandatangani dalan loji Belanda di Tatas (Benteng, red) di Banjarmasin. Lagi-lagi momen Ramadan menjadi pilihan, perjanjian ini ditandatangani pada Kamis 4 Mei 1826 atau 26 Ramadan 1241 H. Namun sayangnya ini bukan cerita manis yang tertuliskan di atas kertas,” bebernya.
Sammy mengatakan, perjanjian itu yang menjadi dasar penghubung politik dan ekonomi antara Kesultanan Banjar dengan pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuah Leenstaat, atau negeri peminjam.
Berdasarkan perjanjian itu pula, kedaulatan kerajaan keluar negeri hilang sama sekali.
“Sedangkan kekuasaan ke dalam tetap perkasa dengan beberapa pembatasan dan Residen berperan sebagai agen politik pemerintahan kolonial Hindia Belanda,” tuturnya.
Dengan dasar perjanjian dengan VOC terdahulu, ujar Mansyur, maka Belanda dapat mencampuri pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan Putra Mahkota dan Mangkubumi.
“Hal inilah yang mengakibatkan rusaknya adat kerajaan dalam bidan ini, yang kemudian menjadiakn salah satu penyebab pecahnya Perang Banjar,” bebernya.
Tak sampai di sana, Mansyur juga megatakan, masih ada momentum Ramadan yang diambil untuk memulai sesuatu di Banjar.
Salah satunya pada 36 tahun sebelum Sultan Sulaiman, Banjarmasin juga pernah mengirimkan surat Gubernur jendral VOC, William Arnold Alting.
Pengiriman surat tersebut pada hari Selasa yang bertepatan pada 2 Ramadhan 1206 H atau 24 April 1792.
“Surat itu berisi, membicarakan tentang harga barang-barang yang ditukar antara kedua pihak, serta keluhan bahwa hak Sultan atas separuh cukai tidak mau dibayar oleh Fetor setempat,” ungkapnya.
Terlepas dari kisah pahit manis, derai tawa dan air mata, yang ada di dalam catatan historia Sejarah Banjar, bisa ditarik benang merah bahwa Ramadan menjadi momentum jihad.
Serta menjadi pemicu untuk perjuangan di jalan Allah. Jihad yang bersifat produktif dalam konteks sekarang adalah sebagimana mengisi kemerdekaan dengan potensi yang dimiliki Umar.
“Arah jihad untuk melahirkan kemaslahatan bagi warga Banua Banjar, baik jihad melawan hawa nafsu atau jihad dalam pendidikan, maupun kesejahteraan sosial,” tutupya.
Penulis: Mada Al Madani