apahabar.com, BANJARMASIN – Menjelang berakhirnya Ramadan 1241 Hiriah silam, ada sebuah peristiwa pilu nan bersejarah dalam Kesultanan Banjar.
Peristiwa itu coba diuraikan Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) Kalimantan, Mansyur dalam sebuah tulisan.
Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Banjarmasin ini menceritakan, pada 26 Ramadan 1241 Hijriyah, ketika Umat Islam di seantero Banjar sedang menjalankan ibadah puasa, di Loji Belanda kawasan Tatas, status Kesultanan Banjar berada di ujung tanduk.
Sultan Adam Al Wasik Billah, ditemani Pangeran Ratu/Nata, Pangeran Mangkubumi, Pangeran Dipati dan Pangeran Ahmid duduk semeja dengan Opperhoofd Zuid en Oost Kust van Borneo, MH Holewijn dan Komisaris Jenderal Hindia Belanda, L Burgraaf du bus de Gisignes.
“Mereka bersitegang membahas perjanjian yang menentukan nasib Kesultanan di selatan Borneo ini,” kata Mansyur dalam tulisannya yang masuk ke dapur apahabar.com, Kamis (6/5/2021).
Sultan Adam dan pengikutnya, dalam suasana yang tampak tegang dalam loji yang menjadi kesatuan bangunan dengan Fort Tatas (sekarang Masjid Sabilal Muhtadin Banjarmasin).
Sementara MH Holewijn dan Komisaris Jenderal Hindia Belanda, L Burgraaf du bus de Gisignes kadang tertawa kecil membaca isi perjanjian.
Di tengah bangunan dijaga ratusan pasukan Belanda. Lengkap dengan meriam canggih Canon Carron pounder 12, yang baru dibeli Pemerintah Hindia Belanda dari Skotlandia.
Pada sore hari yang bertepatan tanggal 4 Mei 1826 M ini, diadakan perjanjian kembali antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Sultan Adam, berdasarkan perjanjian dengan VOC yang terdahulu.
Dengan perjanjian ini, harapan Belanda kembali dapat mencampuri pengaturan permasalahan mengenai pengangkatan Putera Mahkota dan Mangkubumi.
Tidak disadari, kalau perjanjian 26 Ramadan ini kemudian hari akan mengakibatkan rusaknya adat Kesultanan Banjar yang kemudian menjadi embrio pecahnya Perang Banjar.
Perjanjian ini digagas Belanda ketika Sultan Adam Al Wasik Billah menggantikan ayahnya Sultan Suleman al Mutamidullah pada tahun 1825.
Setelah sultan dilantik, Belanda sangat berniat memperbaharui perjanjian dengan sultan yang baru.
Melihat kondisi Kesultanan Banjar era itu, ditambah tekanan kuat pemerintah Hindia Belanda, Sultan Adam bersama perwakilan para menteri dan pangeran, mau tidak mau harus menandatangani perjanjian terdiri atas 28 pasal ini.
“Perjanjian inilah yang kemudian dikenal dengan Perjanjian 26 Ramadan,” sebut Mansyur.
Perjanjian ini menjadi dasar bagi Belanda untuk berpijak ke langkar pengaruh yang lebih dalam untuk mencampuri urusan pemerintahan Sultan.
Pada saat perjanjian ditandatangani, usia Sultan Adam masih 29 tahun. Usia yang sangat muda ketika tampuk kepemimpinan sebagai sultan dibebankan padanya.
Tetapi memang, bukan pilihan yang mudah, karena tekanan kolonial begitu kuat. Tidak ayal Sultan Adam dalam penandatanganan perjanjian 26 Ramadan ini sebenarnya menghadapi dilema.
Pada sisi lain Sultan Adam juga mengambil keputusan dari hasil Musyawarah Dewan Adat ditambah pertimbangan dari permaisurinya, Ratu Kemala Sari yang saat itu berusia lebih tua lima tahun darinya yakni 34 tahun.
“Sejarawan Banjar, Idwar Saleh menuliskan, perjanjian 26 Ramadan menjadi fondasi hubungan politik dan ekonomi antara Kerajaan Banjar dengan pemerintah Belanda di Batavia,” terang Mansyur.
Dalam perjanjian tersebut Kesultanan Banjar yang diwakili Sultan Adam, mengakui suzerinitas atau pertuanan Pemerintah Hindia Belanda dan menjadi sebuah leenstaat, atau negeri pinjaman.
Atau dengan kata lain Kesultanan Banjar sudah tergadai.
Berdasarkan perjanjian ini maka kedaulatan kerajaan keluar negeri hilang sama sekali.
Kekuasaan ke dalam tetap berkuasa dengan beberapa pembatasan dan Residen berperan sebagai agen politik Belanda.
Dampak besar, kemudian terjadi dalam wilayah Kesultanan Banjar maupun hubungan politik dan perkembangan ekonominya.
“Kesultanan Banjar tidak boleh mengadakan hubungan dengan lain kecuali hanya dengan Belanda,” beber Mansyur.
Selain itu, wilayah Kerajaan Banjar menjadi lebih kecil, karena beberapa wilayah menjadi bagian di bawah pemerintahan langsung Belanda.
Wilayah-wilayah itu seperti tersebut dalam Pasal 4 mulai Pulau Tatas dan Kuwin sampai di seberang kiri Antasan Kecil hingga wilayah Dayak dan negeri-negeri di pesisir timur semuanya di bawah kontrol Belanda.
Dibarengi dengan penggantian Pangeran Mangkubumi harus mendapat persetujuan pemerintah Belanda.
Sisi baiknya, Belanda akan menolong Sultan terhadap musuh dari luar kerajaan, dan terhadap musuh dari dalam negeri.
Betapa rakusnya penjajah kolonial, bahkan beberapa daerah padang perburuan Sultan Adam yang sudah menjadi tradisi, harus diserahkan pada Belanda.
Padang perburuan itu, meliputi Padang Pulau Lampi sampai ke Batang Banyu Maluka, Padang Bajingah, Padang Penggantihan, Padang Munggu Basung, hingga Padang Ujung Karangan.
Sekarang wilayah padang perburuan ini berada di Kecamatan Pulau Sari, Tanah Laut dan sekitarnya.
Semua padang perburuan itu dilarang bagi penduduk sekitarnya berburu menjangan.
Dengan pengambil alihan padang perburuan ini, Sultan Adam seakan akan kehilangan hiburan pada sisi lain.
Pada era itu, Sultan Adam biasanya dua sampai tiga kali seminggu menunggang kuda dan berburu rusa.
Biasanya ditemani Pangeran Hidajat (cucu kesayangan Sultan Adam).
Kemudian dalam pengumpulan pajak, Sultan Adam tidak turun tangan sendiri, dibantu oleh Praboe Anom, Mohamad Amin Oellah, Djaja Samitra (Pangeran Jaya Sumitra) dan sejumlah keluarga Kerajaan Banjar (bangsawan).
Selain mengambil alih lahan perburuan Sultan, Belanda juga memperoleh pajak penjualan intan sepersepuluh dari harga intan dan sepersepuluhnya untuk Sultan.
Kalau ditemukan intan yang lebih dari 4 karat harus dijual pada Sultan. Harga pembelian intan itu, sepersepuluh-nya diserahkan pada Belanda.
“Sungguh suatu era, yang akhirnya mencabik cabik kedaulatan Kesultanan Banjar. Wajar kemudian hal inilah yang mendasari dalam perkembangannya 33 tahun kemudian, setelah Sultan Adam wafat, pada tanggal 24 Ramadhan 1215 H bertepatan (18 April 1859) Perang Banjar pun meletus,” pungkas Mansyur.
Penulis: Mada al Madani