apahabar.com, MARTAPURA – Ramadan kerap jadi momen bersejarah dalam narasi sejarah Masyarakat Banjar di masa lalu.
Dari kembalinya Syekh Muhammad Arsyad dari Mekkah ke Martapura dan juga menjadi momen meletusnya Perang Banjar.
Namun, pada bulan Ramadan juga menjadi ending pelawanan pahlawan awal Banua, yang sekarang namanya diabadikan sebagai stadion sepakbola di Martapura “Demang Lehman”.
Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) Kalimantan, Mansyur, menceritakan tokoh panglima Perang Banjar yang memiliki nama Idis ini tertangkap di wilayah Batu Panggal, Selah Selilau, Batulicin (sekarang menjadi Kecamatan Karang Bintang, Tanah Bumbu).
“Pada awal Ramadhan 1280 H atau Februari 1864 M, dalam kondisi tengah puasa, beliau pun dihukum mati (gantung, red) di Lapangan (Alun-alun) Kota Martapura pada 19 Ramadhan 1280 H atau 27 Februaru 1864 M, sore hari,” kata, Mansyur dalam tulisannya ke dapur redaksi apahabar.com.
Diterangkan Dosen Prodi Pendidikan Sejarah FKIP ULM Banjarmasin ini, kejadian tersebut bak cerita di film layer lebar, tepat di bulan Ramadan 1280 H, menjadi kondisi tragis perlawanan seorang muslim yang taat, demi kemerdekaan Banua dari cengkraman kolonial Belan.
“Dari sederet data era kolonial menuliskan Demang Lehman penganut agama Islam yang taat menjalankan ajaran agama Islam. Demang Lehman juga digelari oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai Solehman, dari catatan sejarah mengatakan bahwa beliau tidak pernah meninggalkan salat dan tetap berpuasa walaupun kematiannya tinggal detik-detik terakhir,” ungkapnya.
Seperti dituliskan oleh Meyners dalam Bijidragen to de Geschienis van het Bandjermasinsche Rijk (Sumbangan untuk Sejarah Kesultanan Banjar) 1863-1866, terbitan E.J. Briil, Leide Belanda.
Menuliskan bahwa pada sore hari tanggal 13 Ramadan 1280 H (21 Februari 1864 M) para kepala-kepala wilayah Bator Litjen (Batulicin), Pangeran Sjarif Hamid bersama dengan mertuanya, Poea Imam Hadjie Mohamar Akil membawa tahanan khusus dalam kondisi terikat.
“Tahanan ini tidak lain dan tidak bukan adalah Demang Lehman yang begitu terkenal, apalagi Mangkubumi Kesultanan Banjar, Pangeran Hidayatullah memberinya gelar Kijai Adipattie Mangko Negara,” tuturnya.
Demang Lehman yang dengan kondisi terikat diangkut dengan pauw sopit (perahu supit) ke Schans Van Thuijll (skarang menjadi Mantuil, Banjarmasin).
Demang Lehman lalu dipindahkan ke sekoci recherche (Reserse) dan dari S Schans Van Thuijll oleh Adjudant Onderofficier Posthouder, Serquet lalu dikawal menuju ke jembatan pendaratan (dermaga).
“Di depan rumah tempat tinggal Residen (sekarang Jalan Jendral Sudirman, Banjarmasin, red), Demang Lehman dipindahkan ke Benteng Tatas (wilayah Masjid Sabilal Muhtadi, red),” terangnya.
Tidak berakhir di sana, Mansyur menceritakan jika Auditor–Militer Hindia Belanda pun segera memerintahkan proses hukum dan mengadili sang Demang.
“Pengadilan tersebut tepatnya pada sore hari tanggal 14 Ramadan 1280 H (22 Februari 1864 M, red) pemeriksaan serta pengadilan dipersidangan dimulai. Pemeriksaan dan pengadilan Demang Lehman akhirnya selesai paa pagi hari, 16 Ramadan 1280 (24 Februari 1864 M, red). Dalam putusannya, Dewan Militer dengan suara bulat menyetujui Demang Lehman dihukum mati di Lapangan (Alun-alun, red) Kota Martapura pada 19 Ramadan 1280 H atau 27 Februari 1864 M, pada sore hari,” bebernya.
Dari catatan Meyner, kata Mansyur, kondisi Demang Lehman menjelang detik-detik kematiannya di tiang gantungan, meski tampaknya kurang bergairah dan mengenakan pakaian buruk (compang-camping), ternyata memiliki sesuatu yang mengesankan sikap dan ketegasannya.
“Beliau bahkan dikatakan, tetap menjalani ibadah puasa sesuai dengan keyakinan Demang Lehman sebagai penganut agama Islam yang taat pada ajarannya,” kata Mansyur.
Tak hanya itu, Demang Lehman juga dengan luwes berbicara ketika dia selesai diperiksa dan diadili di persidangan.
Di sidang tersebut, di hadapan dewan dan auditor militer serta staf, kemudian setelah dibawa ke hadapan kolonel Happe, Demang Lehman pun mengulangi permintaannya kepada kolonel.
“Permintaan itu adalah: Demang Lehman tidak mau meninggalkan Tanah Borneo (Kalimantan) selamanya, meskipun harus mati, dihukum dengan cara digantung,” tutrnya.
Selain itu, Demang Lehman juga berwasiat, proses pengurusan jenazahnya dan pemakamannya diurus oleh sang istri tercinta, namun hal itu tidak dikabulkan oleh Kolonial Belanda.
Demang Lehman pada tahun 1862 -1863, tercatat memiliki putra bernama Gusti Djadin.
Pada sumber lain, tertulis Demang Lehman memiliki dua istri, di antarnya Ratuoe Atidja (Ratu Atidja) adalah istri kedua, sedagkan untuk istri pertamanya tidak ada dicatatakan dalam sejarah namanya.
“Mertua Demang Lehman bernama Pembakkal Koenoer (Pembakal Kunur, red) yang berdomisili di wilayah Pajukungan dan Alai,” menurutnya.
Saat perwakilan dari Pemerintah Hindia Belanda megnambil fotonya, Demang Leham tidak memberontak atau melarang.
“Dalam kondisi berpuasa, dengan tenang beliau duduk di kursi kayu sambal terjerat tali. Bukannya merasa keberatan difoto, namun malah sebaliknya, dia tampaknya lebih senang dengan itu,” jelas Mansyur.
Setelah Sang Panglima perang Banjar divonis, maka dibuat pemberitahuan kepada komandan pasukan, serta Asisten Residen di Martapura dan Perwira Militer di Dewan Pengadilan untuk membawa Demang Lehman di bawah pengawalan yang ketat, tepat waktu.
“Tepat pada pagi buta, Demang Lehman diangkur dengan kapal “Sailoos” ke Martapoera (Martapura, red) dimana mereka tiba keesokan harinya pada tanggal 25 Februari 1864,” ungkapnya.
Kala itu, Demang Lehman terlihat tenang menaiki kapal Saijlooss yang membawanya ke Martapura, yang mana Kota Martapura menjadi tempat eksekusi dirinya tepat pada tangga 27 Februari.
“Jadi, sekitar dua hari Demang Lehman ditahan di Martapura sebelum pelaksanaan eksekusi yang dilakukan di du Alun-alun Kota Martapura,” jelasnya.
Seperti yang dituliskan oleh Meyners, Demang Lehman juga berpuasa Ramadhan. “Beliau juga sahur dan berbuka puasa. Namun, hanya dengan roti biasa (roti beras, red) untuk jam-jam tertentu,” sebut Sammy begitu Mansyur akrab disapa.
Sammy menjelaskan, dari sumber yang lain dituliskan bahwa Demang Lehman juga tidak pernah meninggalkan salat dan membaca Alquran di dalam tahanan.
Demang Lehman memiliki Alquran berukuran kecil yang selalu dibawanya kemana-mana dan dibaca ketika waktu senggang.
“Pada saat Demang Lehman menjalani masa penahanan menjelang eksekusi, tidak ada seorang pun yang mejenguknya, atau sekadar mempertanyakannya. Sebab penduduk sangat takut disangkut pautkan dengan Demang Lehman. Demikian dituliskan oleh Wartawan Surat Kabar Sumarta Nieuws en Advertebtie Blad edisi 7 Mei 1864,” beber Sammy.
Demang Lehman dieksekusi gantung tepat pada 19 Ramadan 1280 H atau 27 Februari 1864 M.
Di hari eksekusinya, Demang Lehman sangat tenang dan tidak kehilangan kendali atas dirinya.
Dia melangkah dan dengan bengga mengangkat kepalanya melewati kumpuan warga Martapura yang ada di jalan, menuju tempat eksekusi (tiang gantung di Alun Alun Kota Martpura).
Sammy mengatakan, para Pejabat Militer Belanda yang menjaksikan hukuman gantung tersebut merasa kagum dengan ketabahan Demang Lehman saat menaiki tiang gantung dengan tidak mengenakan penutup mata.
Urat mukanya tidak berubah, menunjukkan kerabahan luar biasa.
“Mayners menuliskan bahwa Demang Lehman menderita hukuman mati dengan ketenangan dan sikap mengagumkan. Setelah meninggal, jenazahnya tanpa dikebumikan (disalatkan, red) kemudian dimakankan, setelah dibawa dari Rumah Sakit di Martapura,” ungkapnya.
Selain itu, dalam Surat Kabar Sumatra Nieuws Advertebtie Blad edisi 7 Mei 1864, dituliskan tidak ada satu pun dari penduduk Martapura yang mengklaim bahwa Demang Lehman adalah keluarganya.
“Kemungkinan karena rasa ketakutan masyarakat saat itu. Setelah eksekusi, tidak ada satu keluarganya pun yang menyaksikan dan menyambut mayatnya,” tutupnya.
Penulis: Mada Al Madani