Dua Masjid Tertua di Australia Ternyata Didirikan Penunggang Unta

apahabar.com, BANJARMASIN – Rumah ibadah memiliki pesona tersendiri meskipun sudah termakan waktu. Meski berusia hingga ratusan tahun, sebuah masjid berperan penting bagi umat muslim yang termasuk kelompok minoritas di sebuah negara.

Dalam perbincangan ringan antara jurnalis apahabar.com dan seorang warga negara Indonesia (WNI) yang kini bermukim di Adelaide-Australia, masjid tak hanya untuk beribadah namun berfungsi sebagai tempat kajian atau pusat edukasi Islam.

“Tidak seperti di Indonesia, jumlah masjid di Adelaide tidak banyak,” terang Sadat, Pria asal Semarang ini kepada apahabar.com, Senin (19/4).

Salah satu yang terkenal adalah Masjid Adelaide. Ada juga yang menyebutnya sesuai dengan lokasi penempatan, yakni Masjid Little Gilbert, sebab terletak di 20 Little Gilbert Street.

“Itu adalah masjid permanen tertua di Australia,” katanya.

Masjid Adelaide didirikan sejak 1888-1889 oleh komunitas Afghanistan. Mereka adalah penunggang unta yang dibawa oleh orang-orang Australia.

“Komunitas Afghan (Afghanistan) yang dibawa oleh orang-orang bule Aussie sebagai ‘sopir’ unta,” jelasnya.

Pada masa itu, hewan Unta memang digunakan sebagai alat transportasi menuju tambang-tambang emas. Karena lokasinya dikelilingi gurun pasir yang sangat panas, serta berada cukup jauh dari pusat Australia.

Umat muslim di Australia memang tak banyak. Dari total 22 juta penduduknya, terdapat sekitar 500 orang yang beragama Islam. Di South Australia misalnya, hanya ada sekitar 20 ribu muslim.

Sadat sendiri meninggalkan Indonesia pada 2005 dan tinggal di Perth, ia kemudian menetap di Adelaide sejak 2019. Namun, menikmati ramadan di negeri orang tak mengurangi semangatnya dalam berpuasa. Ia tergabung dalam Kajian Islam Adelaide (KIA) yang menghimpun sesama WNI muslim yang tinggal di Adelaide.

“Karena masjid tidak banyak, jadi jumlah tempat tarawih juga sedikit. Dan jaraknya berjauhan,” ungkap pria yang memiliki pekerjaan sebagai estimator proyek listrik bertegangan tinggi ini.

Kembali ke masjid-masjid ternama di Australia, disebutkan Sadat ada beberapa masjid lainnya yang terletak di Adelaide. Antara lain, Masjid Abu Bakar (Wandana), Masjid Umar bin Khattab (Marion) dan Masjid Al Khalil (Woodville). Kemudian beberapa musala, seperti Oasis (Multifaith Centre) di Flinders University dan Adelaide University.

Islam berkembang cukup pesat di Adelaide. Ini terbukti dengan hadirnya sekolah pendidikan Islam yaitu Australian Islamic College South Australia di West Croydon, Garden College di Parafield Garden dan Iqra College di O’Halloran Hill.

Dari Adelaide tempat Sadat tinggal, kita bergeser 650 kilometer menuju kota kecil bernama Marree. Terdapat satu masjid tua yang dibangun sekitar 1882.

“Masjid tertua ada juga di South Australia. Sekitar 6-7 jam menyetir dari Adelaide,” sebut Sadat.

Masjid ini dibangun semi permanen. Setengah bangunannya berupa tembok dan beratapkan daun rumbia. Namun menurut Sadat, masjid aslinya sudah rubuh.

“Yang sekarang adalah replika dari masjid itu,” ujarnya.

Sama seperti Masjid Adelaide, Masjid Marree juga dibangun oleh para penunggang Unta. Pada masa itu, Marree dijadikan sebagai terminal terakhir sebelum hewan berpunuk tersebut melanjutkan perjalanan untuk melintasi gurun pasir.

“Sayangnya, saat ini setahu saya tidak ada lagi yang mengelola masjid itu. Salah satunya karena tidak ada lagi muslim yang tinggal di Marree. Penduduknya hanya sekitar 100-200 orang,” imbuhnya.

Di masa pandemi seperti saat ini, komunitas umat muslim lebih banyak mempusatkan kegiatan keagamaan di satu tempat. Misalnya anggota KIA, kerap menggelar kegiatan di salah satu rumah jemaah, mulai dari berbuka puasa hingga salat tarawih berjamaah.

“Alhamdulillah kondisi di Adelaide untuk masalah Covid-19 sudah sangat kondusif. Masjid-masjid sudah bisa mengadakan salat berjamaah tetapi dibatasi,” ucapnya.

Pemerintah setempat juga mengeluarkan kebijakan untuk memperbolehkan kerumunan hingga 100 persen, dengan syarat tetap menggunakan masker. Ini juga berlaku untuk tempat-tempat publik seperti bioskop, gereja dan lainnya.

“Salat seperti biasa, tidak harus renggang. Kalau mau tanpa masker, salatnya terpisah berjarak 1,5 meter antar jemaah,” paparnya

Penulis : Musnita Sari

Editor: