hancau.net – Hukuman suka-suka di Indonesia seringkali kita temui, namun lambat disadari.
Cerita tentang penegakan hukum yang semena-mena kembali memuka di depan mata kita. Dari proses penggeledahan yang janggal hingga penangkapan yang tidak masuk akal, mempertebal prasangka tentang rapuhnya warga yang papa di hadapan penegak hukum yang memegang kuasa.
Kita jengah dengan hukum yang hanya tajam pada yang lemah. Berikut Kasus Hukuman Suka-suka Ala Indonesia.
-
Tokoh Adat Kinipan, Effendi Buhing
Tokoh adat Kinipan, Effendi Buhing harus berhadapan dengan penegak hukum, gara-gara konflik lahan yang bersinggungan dengan korporasi. Video penangkapannya viral dan menjadi sorotan.
-
Kriminalisasi Nelayan, Pak Manre Yang Merobek Amplop
Pak Manre, nelayan Kodingareng dituduh melanggar pasal 170 KUHP serta pengrusakan Mata Uang Negara sebagaimana termaktub dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang. Berdasarkan laporan polisi Nomor : LP-A/283/VII/2020/SPKT.
Padahal, Pak Manre dan nelayan lainnya hanya berusaha bertahan untuk melindungi ruang penghidupan mereka dari tambang pasir yang mereka sadar betul akan dampak buruknya.
-
Teror dan Intimidasi Terhadap Aktivis WALHI
Kepala Advokasi WALHI, Zenzi Suhadi. Dituduh memakai narkoba, dan pukul 11 malam didatangi beberapa orang petugas dan dilakukan penggeledahan secara paksa. Hasilnya nihil, dan tes urin pun hasilnya negatif.
-
Hendri Alfred Bakari, Meninggal Akibat Disiksa di Tahanan
Hendri, seorang nelayan di Balerang Batam meregang nyawa setelah ditangkap aparat kepolisian dengan tuduhan penyalahgunaan narkoba. Namun, keluarga menilai ada yang janggal dengan kematian Hendri.
-
Sarpan, Kuli Bangunan Babak Belur Setelah Dimintai Keterangan Oleh Polisi
Wajah Sarpan, seorang kuli bangunan di Sumatera Utara babak belur setelah dimintai keterangan sebagai saksi kasus pembunuhan. Sarpan mengaku dianiaya agar mau mengakui terlibat kasus pembunuhan tersebut.
Nelayan, petani, buruh dan banyak warga jadi korban tindakan semena-mena. Padahal mereka manusia biasa yang juga berjuang menghidupi keluarga.
Pada akhirnya hanya kata”damai” yang dilontarkan oleh pihak kepolisian. Asfinawati dari YLBHI mengatakan, hukum tidak mengenal kata damai, dan karena hanya hukuman displin yang diberikan maka kasusnya selalu terulang.
Ini merupakan paradoks yang luar biasa, dimana kepolisian sebagai pihak yang mengayomi malah menghilangkan nyawa manusia hanya karena masuk ke kantor polisi.
Semoga kasus-kasus di atas tidak menimpa lagi kepada kita dan orang lain.(fix)
Sumber: Mata Najwa