apahabar.com, BANJARMASIN – Ada kisah menarik yakni Islamnya salah seorang sahabat dan juga sepupu dari Rasulullah SAW, Abu Sufyan bin al-Harits.
Dalam sebuah riwayat al-Maghazinya dan al-Waqidi” yang dikutip dari kisah muslim.com berawal ketika Abu Sufyan bin al-Harits dan Abdullah bin Abu Umayyah bin al-Mughirah menemui Rasulullah SAW di Tsaniyah al-‘Iqab.
Yakni suatu tempat antara Mekah dan Madinah, lalu keduanya pun masuk rumah Nabi dan berbincang dengan istri beliau Ummu Salamah RA.
Ummu Salamah berkata, “Wahai Rasulullah, ini ada putra pamanmu, putra bibimu, dan juga iparmu.”
Rasulullah menjawab, “Aku tidak berkeperluan dengan keduanya. Putra pamanku telah merusak kehormatanku. Sedangkan putra bibiku sekaligus iparku, sewaktu di Mekah dia telah mengatakan apa yang dia katakan.”
Mendengar ucapan Rasulullah itu, Abu Sufyan bin al-Harits yang membawa putranya berkata, “Demi Allah, Rasulullah mengizinkan aku atau aku akan membawa diriku dan anakku ini pergi ke suatu tempat hingga kami mati dalam keadaan kehausan atau kelaparan.”
Saat mengetahui keinginan Abu Sufyan, Rasulullah pun luluh. Mereka diizinkan masuk menemui beliau.
Kemudian Abu Sufyan menggubah sebuah syair tentang keislamannya dan permohonan maafnya atas perbuatannya di masa lalu.
Abu Sufyan berkata, “Siapa teman? Dan aku harusnya bersama siapa? Islam semakin dekat (semakin berkuasa). Segera Kutemui istri dan anakku. Kukatakan pada mereka, ayo bersiap untuk pergi. Malam ini Muhammad akan sampai pada kalian.”
Mereka berkata, “Sekarang telah kau lihat, orang-orang Arab dan non Arab telah mengikuti Muhammad. Sementara kau masih saja memusuhinya. Semestinya engkau adalah orang yang paling terdepan membelanya!”
Lalu Abu Sufyan menyuruh budaknya, Madzkur, “Cepat siapkan onta dan kuda”.
Kemudian ia pergi hingga sampai di Abwa. Saat sampai di perbatasan Abwa, Abu Sufyan menyamar karena merasa takut akan dibunuh.
Ia pun keluar, ternyata didapati anaknya, Ja’far, di hadapannya sejarak satu mil.
Saat pagi hari, Rasulullah SAW sampai di Abwa. Orang-orang menghadap dan menemuinya satu per satu.
Ia pun menyelinap ke kerumunan sahabatnya. Ketika tunggangannya mendekat, Abu Sufyan muncul di hadapannya.
Saat kedua mata Nabi Muhammad SAW menatapnya, ia palingkan wajahnya dari Abu Sufyan.
Berupaya dengan mengikuti ke mana arah wajah Rasulullah SAW berpaling, tetap berkali-kali pula Nabi palingkan wajahnya dari Abu Sufyan.
Hingga ia mencoba menatap Rasulullah SAW dari arah dekat maupun jauh.
“Aku telah terbunuh sebelum sampai padanya”, gumam Abu Sufyan.
Tapi ia pun teringat dengan kebaikan, sifat kasih, dan kekerabatannya dengannya. Itulah yang menahan Abu Sufyan.
Hingga ia merasa yakin Rasulullah SAW dan para sahabatnya akan sangat bergembira dengan keislamannya.
Ketika kaum muslimin melihat Rasulullah SAW berpaling dari pandangannya, mereka semua (pasukan muslimin) juga turut berpaling.
Begitu pula dengan Ibnu Abu Quhafah (Abu Bakar) juga ikut berpaling darinya.
Hingga dilihatnya Umar mengarahkannya pada seorang Anshar.
Seorang yang menatap Abu Sufyan itupun berkata, “Hai musuh Allah, kamu kah orang yang menyakiti Rasulullah SAW dan juga para sahabatnya, hingga rasa permusuhanmu itu memenuhi antara timur dan barat?!”
Sambil mengangkat suaranya, ia ulang-ulang ucapannya itu pada Abu Sufyan, hingga ia merasa orang-orang senang dengan intimidasi yang didapatnya.
Abu Sufyan melanjutkan, “Aku pun menemui pamanku, Abbas. Kukatakan padanya, ‘Hai Abbas, sungguh aku berharap Rasulullah akan bergembira dengan keislamanku. Karena kedudukanku sebagai kerabat.”
“Namun aku telah melihat responnya terhadapku. Tolong, bicaralah padanya agar ridha padaku,” lanjut Abu Sufyan.
Abbas menjawab, “Demi Allah, tidak. Setelah kulihat responnya padamu, aku tak akan membahas tentangmu sepatah kata pun. Sungguh aku segan dengan wibawa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Abu Sufyan berkata, “Wahai paman, lalu kepada siapa lagi aku bersandar?’ ‘Itu urusanmu,” jawab Abbas.
Kemudian ia menemui Ali -semoga Allah merahmatinya-.
Abu Sufyan pun berbicara dengannya. Ia menjawab seperti jawaban Abbas. Lalu ia kembali menuju pamannya tersebut.
Berkatalah Abu Sufyan, ‘”Wahai paman, cukuplah untukku seseorang yang mencelaku tadi.”
Tanya Abbas, “Coba jelaskan cirinya padaku?”
“Dia seorang yang berkulit sawo matang pekat. Pendek. Dan besar perutnya. Di antara kedua matanya terdapat tanda hitam,” ungkapnya.
‘Itu adalah Nu’man bin al-Harits an-Najjari’, kata Abbas.
Abbas pun membawa Abu Sufyan menemuinya.
Abbas berkata, “Hai Nu’man, ini adalah Abu Sufyan. Putra dari paman Rasulullah SAW dan putra dari saudara laki-lakiku.”
“Kalau Rasulullah SAW marah, ia akan ridha. Berdamailah dengan dia (keponakanku ini)’. Setelah ketidak-pastian dan beratnya permasalahan yang kuhadapi, ternyata ia juga tak mau menerimaku. Ia berkata, ‘Aku tidak akan membawanya (menemui Rasulullah)’.”
Abu Sufyan berkata, “Aku pun keluar dan duduk di pintu rumah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai beliau keluar hendak menuju Juhfah. Beliau tetap tidak berbicara denganku. Demikian juga, tak seorang pun dari kaum muslimin.”
Setiap Nabi menyinggahi suatu rumah, Abu Sufyan senantiasa duduk di pintunya bersama anaknya Ja’far.
Setiap Nabi melihatnya, beliau selalu berpaling darinya.
Demikian terus-menerus. Hingga ia keluar bersama Rasulullah SAW di hari Fathu Mekah.
Abu Sufyan pun berusaha selalu membersamai Rasulullah SAW sampai ia turun di suatu tempat yang banyak idkhirnya hingga ke tempat berkerikil.
Ia mendekati Nabi Muhammad dari pintu kemahnya. Ia memandang dengan pandangan yang lebih lembut dari sebelumnya.
Abu Sufyan pun berharap Nabi akan tersenyum.
Kemudian para wanita-wanita bani al-Muthalib menemuinya Abu Sufyan pun masuk bersama mereka dan bersama istrinya yang telah memisahkan diri darinya.
Kemudian Nabi keluar menuju masjid dan aku berada di hadapannya.
Saat itu ia tidak berpisah darinya hingga keluar menuju Hawazin (Perang Hunain).
Abu Sufyan pun berperang bersamanya. Orang-orang Arab berkumpul. Ini adalah sebuah perkumpulan yang sama sekali belum pernah terjadi sebelumnya.
Mereka keluar dengan perempuan-perempuan dan anak-anak dalam keadaan berjalan.
Saat ia menjumpai mereka, Abu Sufyan berkata, “Hari ini usahaku akan berhasil insyaallah. Saat terjadilah peristiwa seperti yang Allah firmankan,
ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ
“Kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.” [Quran At-Taubah: 25]
Saat orang-orang lari tercerai-berai, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap teguh di atas bighalnya.
Nabi SAW dikepung pedang sementara pedangnya sendiri terampas. Kuda Abu Sufyan juga ditikam.
Hingga Abu Sufyan memberikan perlawanan ia banting pedang musuh ditangkis lah dengan pedangnya.
Hingga pelipis Nabi terluka. Tidak ada ketakutan seorang Abu Sufyan pun ingin mati dalam keadaan melindunginya Rasulullah SAW.
Dilihatnya Rasulullah menatapnya.
Sementara sang paman Abbas bin Abdul Muthalib mengambil tali kekang bighal beliau.
Dan digapainya dari sisi lain, Nabi berkata, “Siapa ini?”
Lalu disingkapkan helm perangnya. Abbas berkata, “Rasulullah, itu adalah saudara (sepersusuanmu), putra dari pamanmu. Ia adalah Abu Sufyan bin al-Harits.”
“Ridhailah dia, wahai Rasulullah.” ujar Abbas.
“Aku ridha padanya”, jawab Rasulullah.
Allah telah mengampuni segala permusuhan yang dulu dilakukan Abu Sufyan.
Nabi menumpangi tunggangan Abu Sufyan kemudian menoleh padanya, seraya berkata, “Saudaraku.”
Kemudian ia perintahkan Abbas, “Serulah! Hai ash-Habul Baqarah! Hai ash-Habul Samarah (yang berbaiat pada baiat ridhwan) hari Hudaibiyah! Hai Muhajirin! Hai Anshar! Hai Hazraj!”
Mereka semua menjawab, “Kami penuhi panggilan penyeru Allah.”
Orang-orang mengambil kembali baju besinya, pedangnya, dan tombaknya. Mereka tinggalkan tunggangan yang tak mau berbalik.
Abu Sufyan pun tidak lagi mengkhawatirkan Rasulullah SAW atas ancaman mereka dan tombak-tombak mereka.
Rasulullah berkata padanya “Maju! Dan seranglah mereka! Aku pun maju dan menggusur musuh dari posisinya.”
Nabi Muhammad mengiringinya menuju kumpulan musuh. Sampai akhirnya mereka berhasil memukul mundur semua musuh.
Penulis: Tri Aji Nazulmi