BORNEO online – Kiai Jufri Marzuki (w. 1965), adalah pengasuh Pondok Pesantren As-Syahidul Kabir Sumber Batu Blumbungan Pamekasan Madura, Jawa Timur. Dakwahnya dalam bentuk pengajian-pengajian umum yang diselenggarakan masyarakat dan organisasi mampu memikat daya tarik masyarakat. Uraiannya tegas, lugas mengenai masalah-masalah agama dan mudah dipahami masyarakat awam.
Guyonan dan canda tawa yang ia selipkan di beberapa bagian ceramahnya membuat para hadirin yang hadir tidak merasa bosan untuk mengikuti pengajiannya (bahkan sambil berdiri) selama berjam-jam. Pantaslah ia selalu diundang bahkan keluar kabupaten Pamekasan. Di masanya, Kiai yang juga sebagai Rais Syuriah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama ini dikenal sebagai singa podium masyarakat Nahdlatul Ulama Kabupaten Pamekasan.
Sejarah mencatat bahwa pada era orde lama Partai Komunis Indonesia (PKI) masih diperkenankan keberadaannya sebagai salah satu partai politik di Indonesia. Kesaksian masyarakat juga banyak yang menyatakan bahwa para anggota PKI di berbagai daerah sering membuat keresahan dan keonaran terhadap kegiatan-kegiatan lawan politiknya. Tidak luput juga dengan kegiatan-kegiatan NU. Sering terjadi pengajian-pengajian yang diselenggarakan NU diganggu. Dari mulai sekedar melepaskan anjing ke tengah-tengah acara, sampai pada bikin onar di saat acara. Ya, memang begitulah PKI yang menghalalkan segala cara.
Suatu ketika, Kiai Jufri diundang oleh masyarakat Kecamatan Konang Kabupaten Sampang. Ia diminta untuk mengisi ceramah dalam sebuah pengajian yang diselenggarakan mereka. Kiai Jufri pun ingin memenuhi undangan tersebut. Ia hadir bersama ulama-ulama NU yang lain yang diundang juga dalam acara itu.
Pada waktu itu adalah tahun 1965. Tahun dimana Partai Komunis Indonesia ingin melaksanakan kudetanya. Juga tahun dimana PKI menjadi semakin kemaruk akan kekuasaannya. Sehingga, membawa senjata dalam setiap perjalanan dan bersikap siaga dalam segala keadaan adalah sesuatu yang lumrah.
Semua orang yang hadir mungkin tidak pernah menyangka bahwa ceramah pada malam itu adalah ceramah terakhirnya. Namun, sepertinya Kiai Jufri sudah berfirasat tidak baik sebelumnya. Ketika di tengah perjalanan (sebagaimana kebiasaan para kiai masa itu biasanya berkendaraan kuda dalam sebuah perjalanan), Kiai Jufri berkata pada kiai Mahfud yang menemaninya di perjalanan.
“Saya lupa tidak membawa ‘sekep’. Ketinggalan di rumah bagaimana ini?” katanya. “Ya diambil saja mas, kondisi keamanan sekarang ini keadaannya berbahaya,” jawab Kiai Mahfud.
“Ah, tidaklah. Nanti acaranya segera mulai,” jawab Kiai Jufri menepis firasat tidak baiknya itu. Dan kehendak Allah pun terjadi.
Ketika acara itu berakhir dan Kiai hendak pulang, ada seseorang yang mengaku bernama Sarfin berniat ingin menemaninya pulang. Dengan sifat santun dan ramahnya ia menawarkan sebuah tawaran. Hal ini adalah biasa di lingkungan masyarakat madura bahwa mengantar kiai adalah sebuah kehormatan bagi masyarakat kecil. Si Sarfin, pun diperkenankan untuk menemani Kiai Jufri pulang dengan menunggang kuda.
Di tengah perjalanan, mereka melewati sebuah kali (sungai). Kiai Jufri bilang pada sarfin bahwa ia mau turun sebentar untuk buang air kecil di kali itu. Ia menyuruh sarfin agar diam di situ dan menunggu kudanya.
Baru saja selesai ia ‘nekani hajat’, ketika tiba-tiba sebuah golok berukuran sedang sudah menancap di punggungnya. Dan ternyata orang bernama ‘sarfin’ itulah yang sengaja melakukannya. Si sarfin lalu lari meninggalkan tubuh Kiai Jufri yang sudah bersimbah darah itu.
Kiai Jufri, dengan simbahan darah yang terus mengalir masih kuat menahan sakit, ketika saat itu ada dua orang yang lewat yang juga baru pulang dari mengikuti pengajiannya. Ia berkata pada dua orang tersebut:
“Itu ada orang lari ke arah sana (sambil menunjuk sebuah arah jalan), ia telah menusukkan golok pada saya dari belakang,” kata Kiai Jufri.
Langsung saja kedua orang itu berteriak “maling….. maling……” untuk menarik perhatian masyarakat sambil lari ke arah jalan yang ditunjukkan Kiai Jufri tersebut. Masyarakatpun langsung datang dan sebagian ada yang mengurusi jasad Kiai Jufri dan sebagian lagi mengejar si pelaku. Kiai Jufri masih sempat dilarikan ke rumah sakit, namun nyawanya tidak tertolong lagi.
Lalu siapakah Sarfin itu? Masyarakat kemudian tahu dan mendengar kabar bahwa ia adalah suruhan PKI. Masyarakat juga mendengar berita bahwa ia dibayar PKI memang untuk membunuh kiai Jufri. Dan masyarakatpun juga mendengar berita juga bahwasanya ia tewas gantung diri sebelum mendapat bayaran itu.
Bagaimana dengan Kiai Jufri? Ia wafat di rumah sakit tersebut dan dimakamkan di pemakaman di Pesantrennya. Ribuan orang hadir dalam acara pemakamannya, mengiringi penguburan jasadnya. Tidak luput juga para pengurus NU dan ulama-ulama Madura juga hadir. Bahkan Kiai Idham Chalid mewakili Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) turut hadir dalam acara tersebut.
Ketika itu Kiai Idham Chalid menyampaikan sambutan dalam acara penghormatan terakhir terhadap jasad Kiai Jufri tersebut demikian:
“Kiai Jufri wafat karena saya, Beliau wafat karena membela NU, beliau wafat pun juga demi Islam. Sehinggga kewafatannya adalah Syahid dalam perjuangan yang besar,” katanya.
Dalam pada itu, untuk mengenag jasa Kiai Jufri, maka pesantrennya yang waktu itu belum punya nama diberilah nama oleh Kiai Idham dengan nama: “As-Syahid Al-Kabir.” Pihak keluarga, juga untuk mengenang jasa-jasa dan perjuangan Kiai Jufri itu, mengabadikan dan memuseumkan pakaian bersimbah darah yang dipakai kiai Jufri ketika peristiwa itu di pesantren tersebut.
Mungkin karena karena kenangan yang mendalam ini pula maka para putra dan cucu-cucu Kiai Jufri menjadi pengurus dan pejuang NU yang setia sampai saat ini. Begitulah Kiai Jufri, hidup dalam perjuangan, wafat dalam kemuliaan. Meninggalkan kenangan yang terukir dalam sejarah. [nu or id]