BORNEEO online, Banjarmasin – Anggota Tim Pakar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) untuk Percepatan Penanganan COVID-19 Hidayatullah Muttaqin SE, MSI, Pg.D berharap rencana pembukaan sekolah di Banjarmasin ditunda hingga pandemi betul-betul terkendali.
“Sebuah langkah yang bijak untuk menyelamatkan kepentingan publik. Jadi kebijakan ini mesti ditimbang ulang,” kata dia di Banjarmasin, dilansir dari Antara, Minggu (15/11/2020).
Diketahui Kota Banjarmasin akan melakukan simulasi pembelajaran tatap muka pada empat SMP mulai Senin (16/11). Rencana pembukaan sekolah ini dilandasi oleh pandangan bahwa pandemi sudah melandai, bahkan ada klaim sebagian besar kelurahan sudah berada dalam zona hijau.
Menurut Muttaqin, untuk memahami apakah pandemi sudah melandai tidak dapat hanya dengan melihat penurunan kasus baru. Ada dua indikator utama yang harus diperhatikan berdasarkan kriteria Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu jumlah sampel tes dan positive rate atau tingkat kasus positif COVID-19.
Berdasarkan standar WHO, ungkap dia, jumlah sampel tes COVID-19 yang diambil setiap minggu minimal 1/1000 penduduk. Untuk Kota Banjarmasin berarti minimal 700 sampel tes usap per minggunya atau sekitar 2.800 sampel per bulannya.
Ketika pengambilan sampel tes sangat kecil, maka hasilnya tidak dapat menggambarkan kondisi riil. Konsekuensi kecilnya jumlah sampel adalah angka positive rate menjadi sangat tinggi.
“Berdasarkan kajian yang saya lakukan terhadap perkembangan data kasus baru dan jumlah sampel harian baik pada level nasional dan di sejumlah daerah di Kalimantan Selatan, terdapat indikasi penurunan jumlah kasus baru positif karena turunnya jumlah sampel tes bukan karena pandemi sudah terkendali,” paparnya.
Dari analisis data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan Selatan, untuk Kota Banjarmasin puncak jumlah sampel tes yang diambil terjadi pada bulan Juli yaitu rata-rata sekitar 759 sampel per minggunya. Kemudian turun menjadi 287 per minggu pada bulan Agustus dan 157 per minggunya di bulan September.
Sementara jumlah kasus baru per minggu di bulan Agustus turun menjadi 138 kasus dari semula 229 kasus pada bulan Juli. Sedangkan pada bulan September rata-rata kasus baru per minggu turun lagi menjadi 103 kasus.
“Data ini mengindikasikan penurunan kasus di Banjarmasin terkait dengan turunnya pengambilan sampel tes, bukan karena pandemi telah terkendali,” bebernya lagi.
Selain kecukupan jumlah sampel tes COVID-19 yang diambil setiap minggunya, WHO juga mensyaratkan pandemi dikatakan mulai terkendali jika angka positive rate sudah berada di bawah 5 persen dalam dua minggu secara berturut-turut.
Sedangkan angka positive rate Kota Banjarmasin untuk jumlah kasus positif dan jumlah sampel tes kumulatif hingga 13 November 2020 berada di angka 43 persen.
Hal ini berdasarkan publikasi dari Dinas Kesehatan Kota Banjarmasin yang menyebutkan jumlah kasus positif kumulatif sebanyak 3.574 dan jumlah sampel tes kumulatif 8.403.
Indikator ini, menurut Muttaqin, menunjukkan posisi pandemi masih jauh dari kriteria WHO untuk dikatakan kasus sudah melandai dan pandemi telah terkendali.
“Kita belum dapat mengatakan berdasarkan data kasus terkonfirmasi maka pandemi telah melandai atau sudah terkendali. Sebab ada permasalahan pada alat ukur untuk menjustifikasi hal itu,” jelasnya.
Atas dasar itulah, maka dia melihat kegiatan yang mendorong mobilitas penduduk lebih tinggi seperti pembukaan sekolah menjadi sangat riskan terhadap pertumbuhan COVID-19 di Banjarmasin.
Di kota ini sendiri jumlah guru dari tingkat TK hingga SMA sederajat hampir 10 ribu orang dan lebih dari 150 ribu murid. Sedangkan mobilitas guru dan murid tidak hanya terjadi di dalam satu kelurahan tetapi lintas kelurahan bahkan lintas kecamatan.
Untuk itu, tambah dia, potensi penularan COVID-19 terhadap guru dan murid tidak hanya ada di dalam kelas atau ruang sekolah tetapi juga dalam perjalanan dari rumah ke sekolah dan mobilitas pada saat pulang.