apahabar.com, BANJARMASIN – Tradisi membunyikan petasan kerap ramai dilakukan masyarakat pada hari-hari di bulan ramadan atau menyambut datangnya perayaan hari idul fitri.
Di Kalimantan Selatan misalnya, dari Banjarmasin hingga wilayah Hulu Sungai sudah tak asing dengan kemeriahan ini.
“Tidak hanya di zaman sekarang, sejak dulu pun umat Islam di Kalsel selalu ada tradisi membunyikan meriam bambu atau meriam pohon kelapa,” kata Sejarawan Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Mansyur, dikutip laman instagram @kesultananbanjar_official, Selasa (20/4) siang.
Dengan alasan menyemarakkan bulan Ramadan, masyarakat membakar petasan pada malam hari.
Meskipun terkesan dengan suasana riang dan gembira, tahukah kamu bahwa aktivitas ini sebenarnya dilarang.
“Larangan petasan bukan hanya ada di masa milenial, tetapi juga ada sejak ratusan tahun yang lalu,” lanjutnya.
Noktah sejarah telah menuliskan bahwa petasan atau kembang api dilarang hingga se-antero Kesultanan Banjar.
Tercatat nama Sultan Adam Al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman Saidullah II, Sultan Banjar yang memerintah tahun 1825 hingga 1 November 1857, melarang petasan di bulan Ramadan.
Sultan Adam Al-Watsiq Billah bahkan membuat prasasti pengumuman yang dibagikan ke setiap kampung.
Prasasti ini dipahat di atas kayu ulin. Berisikan larangan membunyikan petasan dan membuat keributan pada bulan ramadan.
“Bukti sejarah yang ditulis pada permukaan kayu ulin ini dengan huruf arab melayu (Jawi) ini menyebutkan bahwa pada bulan ramadan/puasa dilarang membunyikan dum-duman, petasan dan sejenisnya. Karena dianggap akan mengganggu umat yang sedang beribadah,” terangnya.
Menurut dosen sejarah FKIP ULM ini, pembuatan prasasti tersebut mengindikasikan bahwa Sultan Adam sebagai seorang penguasa yang dikenal keras dalam menjalankan ibadah Islam dan sangat dihormati oleh rakyatnya.
“Beliau pula merupakan salah seorang sultan yang sangat memperhatikan perkembangan Islam di Kalimantan,” katanya.
Prasasti tersebut kini telah tersimpan dan menjadi salah satu koleksi di Museum Negeri Lambung Mangkurat, Banjarbaru.
Penulis: Musnita Sari