RA Kartini dan Pengalaman Religiusnya dengan Alquran

apahabar.com, BANJARMASIN – Setiap 21 April, masyarakat Indonesia sudah tak asing dengan perayaan hari Kartini. Ia adalah salah satu sosok pahlawan bangsa yang jasanya besar bagi para perempuan di negeri ini.

Kartini juga terkenal melalui karyanya yang berjudul ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. Buku terbitan Balai Pustaka pada 1922 ini adalah kumpulan tulisan dan pemikirannya sebagai emansipasi wanita Indonesia.

Tahukah kamu kalau dalam proses pembuatan buku ini lahir dari pengalaman religius Kartini. Ia terinspirasi dari salah satu ayat yang tertera dalam Alquran yaitu Surah Al-Baqarah ayat 257, yang artinya ‘Orang-orang beriman dibimbing Allah dari kegelapan menuju cahaya.’

Mengutip liputan6.com, Kartini sempat protes terhadap pengajaran Islam di tanah air. Pada masa itu, Alquran yang beredar tidak diterjemahkan, sehingga tak semua memahami arti dari kitab suci umat Islam tersebut.

Kartini yang dikenal kritis, merasa gelisah dan timbul rasa ingin tahu yang kuat. Sebagai perempuan yang lahir dalam keluarga ningrat, ia memiliki hak istimewa dalam memeroleh pendidikan. Namun sayangnya, para ulama pada saat itu melarang umat Islam mendiskusikan perkara agama dengan non-muslim.

Diungkapkan dalam buku ‘Kartini Pejuang dari Balik Dinding Pingitan’ karya Wahjudi Djaja, Kartini pernah dimarahi dan disuruh keluar oleh guru mengajinya karena menanyakan makna ayat Alquran.

Beberapa kali, Kartini juga mengutarakan kegelisahannya kepada sejumlah kerabat. Seperti Stella Zeehandelaar, sahabat penanya. Ia juga pernah mengirim surat kepada istri Direktur Pendidikan Agama dan Industri Hindia Belanda, Nyonya Abendanon.

Kegelisahannya terjawab ketika bertemu seorang ulama dari Darat, Semarang, Jawa Tengah. Ulama itu adalah Kiai Sholeh Darat.

Mereka bertemu dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak, Pangeran Ario Hadiningrat atau paman Kartini. Sang Kiai memberikan pengajaran tentang surat Al-Fatihah, ayat yang menyedot perhatian Kartini selama ini.

Kepada sang Kiai, Kartini mengutarakan kegelisahannya karena tidak dapat menafsirkan surat Al-Fatihah.

“Kiai, selama hidupku baru kali ini saya berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Alquran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku.” ucap Kartini

Kartini lalu menyampaikan rasa syukurnya kepada Allah diberi kesempatan memahami Al-Fatihah. Kiai Sholeh tertegun dan tak kuasa menyela.

“Namun, saya heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Alquran ke dalam bahasa Jawa. Bukankah Alquran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?” lanjut Kartini.

Setelah pertemuan itu, akhirnya sang Kiai menerjemahkan 13 juz Alquran ke dalam bahasa Jawa dan memberikannya sebagai kado pernikahan untuk Kartini. Dari situ, ia memperdalam Alquran lebih jauh lagi.

Penulis: Musnita Sari

Editor: