apahabar.com, BANJARMASIN – Nahdlatul Ulama pada tahun 1936 menggelar Muktamar ke-XI di Banjarmasin. Salah satu tempat yang disebut-sebut menjadi saksi bisu pertemuan bersejarah tersebut adalah Langgar Al Hinduan.
Mengutip catatan Founder Komunitas Pegon, Ayung Notonegoro. Dia pernah menapaktilasi tempat pelaksanaan Muktamar ke-XI NU pada 1936 itu. Berdasarkan informasi yang dikumpulkannya,
muktamar tersebut bertempat di sebuah “Gedung Congres” Sungai Messa 23, sebagaimana yang dimuat di Berita Nahdlatoel Oelema.
Dari sumber-sumber lokal di Banjarmasin, gedung congres tersebut tak lain adalah Langgar Al-Hinduan, yaitu musala yang berdiri sekitar tahun 1915. Didirikan oleh Habib Salim bin Abubakar al-Kaff atas tanah wakaf istrinya, Syarifah Salmah Al-Hinduan. Dari marga istrinya tersebut, tempat salat itu diberi nama.
Langgar Al Hinduan berada di tepi jalan Piere Tendean, Banjarmasin Tengah. Bangunan itu ada dua lantai dengan luas kurang lebih 150 meter persegi berdiri di pinggir jalan. Menghadap ke sungai Martapura yang membelah kota. Pada bangunan yang didominasi warna hijau dan putih itu, tepat di atas pintunya, tertulis dengan aksara Arab: Al-Hinduan.
Arsitektur Langgar Al-Hinduan masih terasa kekunoannya. Walaupun sudah terdapat ornamen gypsum yang tampak baru. Tak ada penanda apapun di sana yang menunjukkan bahwa tempat tersebut menjadi saksi bisu sejarah perjalanan NU dan bangsa Indonesia.
Namun, dalam ingatan masyarakat Banjarmasin, nilai-nilai kesejarahan dari Langgar Al-Hinduan masih terekam betul. Langgar yang dijuga disebut Langgar Batu itu, pada 2011 pernah hendak ingin dirobohkan oleh Pemkot Banjarmasin. Posisinya yang berada di jalur wisata itu, hendak diubah menjadi Masjid Cheng Hoo dengan bentuk perahu yang artistik. Namun, rencana tersebut mendapat penolakan luas. Tidak hanya dari masyarakat Sungai Mesa, tapi juga dari tokoh-tokoh agama se-Kalimantan Selatan.
Penolakan tersebut karena menganggap bangunan tersebut tak hanya sekadar cagar budaya. Tapi menjadi saksi sejarah atas pelaksanaan muktamar NU yang pertama kalinya digelar di luar Pulau Jawa. Pada Muktamar itu pula, status Indonesia yang sebentuk dengan “darul islam” diputuskan.
Suatu keputusan yang kelak menjadi landasan para ulama mencetuskan resolusi jihad menghadapi Belanda dan sekutunya yang hendak menjajah kembali Indonesia pada 1945-1949.
Penutupan Muktamar di Banjarmasin tersebut dilakukan di Martapura. Sebuah kota, sekitar 40 KM dari Banjarmasin. Sebagaimana ditulis Abu Bakar Atjeh dalam biografi KH. Wahid Hasyim. Semua peserta muktamar diangkut perahu. Menyisir sungai di depan Langgar Al-Hinduan tersebut, menuju ke lokasi penutupan di kota berjuluk Serambi Mekkah.