BORNEO online, Semarang – Undang-undang (UU) nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) mengalami perubahan berdasar Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Ada 23 pasal yang mengalami perubahan dan ada dua pasal yang bertambah.
Hal itu diungkapkan Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus, Kementerian Agama, M. Arfi Hatim saat menjadi pembicara Serap Aspirasi Implementasi Undang-Undang Cipta Kerja Sektor Industri, Perdagangan, Haji, dan Umroh, serta Jaminan Produk Halal dalam rangkaian acara Konsultasi Publik Implementasi UU Cipta Kerja dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Dalam acara yang digelar di North Ballroom, Gumaya Tower Hotel Semarang itu, Arfi menyampaikan via daring kepada para peserta. Ia menjelaskan UU nomor 8 tahun 2019 diubah dengan ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang menurutnya memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama pelaku usaha dalam mendapatkan perizinan.
“Dengan pengesahan UU Cipta Kerja, memberikan kemudahan bagi masyarakat terutama pelaku usaha dalam mendapatkan perizinan berusaha dari sektor keagamaan,” kata Arfi, dilansir dari Detikcom, Jumat (4/12/2020).
Arfi menjelaskan ada sejumlah pasal UU nomor 8 tahun 2019 PIHU yang berubah dan ada penambahan pasal pada UU Cipta Kerja.
“Jumlah pasal pada Undang undang nomor 8 tahun 2019 yang berubah 23 pasal. Penambahan 2 pasal,” katanya.
Perubahan dan penambahan pasal itu meliputi definisi PPIU dan PIHK, sanksi PIHK yang tidak melapor keberangkatan jemaah haji bisa mujamalah, sanksi PIHK dan PPIU yang melanggar kewajiban. Kemudian soal norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan berusaha dalam penyelenggaraan ibadah haji khusus dan umrah.
Ia melanjutkan, ada juga meliputi akreditasi PPIU dan PIHK, rekening penampungan yang digunakan untuk menampung jemaah untuk kegiatan umrah, ketentuan pidana tidak dapat diterapkan sebelum diterapkan sanksi administrasi.
“Perubahan kewenangan Menteri Agama menjadi pemerintah pusat. Perubahan kewenangan peraturan menteri agama menjadi peraturan pemerintah,” jelasnya.
Penambahan pasal yang dimaksud dalam UU nomor 8 tahun 2019 ada di Pasal 18a dan pasal 19a.
“Tentang PPIU (Penyelenggara Perjalanan Ibadah Umrah) dan Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK) yang gagal memberangkatkan,” ujarnya.
Berdasarkan dokumen Undang-undang yang dilihat detikcom, sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada Undang-undang tersebut adalah teguran lisan, tertulis, penghentian sementara kegiatan, hingga pencabutan izin.
Dalam paparan terakhirnya, Arfi mengatakan dibutuhkan 3 peraturan pelaksanaan UU Cipta Kerja. Pertama, pengaturan tentang perizinan berusaha berbasis risiko dan tata cara pengawasan. Kedua pengaturan tentang rekening penampungan umrah akan diatur dalam PP tentang penyelenggaraan ibadah haji khusus dan umrah.
“Ketiga pengaturan tentang sanksi denda akan diatur dalam PP BNBP (dalam tahap pembahasan internal),” kata Arfi dalam paparan terakhirnya.
“Ini untuk melindungi jamaah dan agar pengusaha dapat menjalankan usahanya,” tegasnya.
Editor: Ghaf