bukankoran – Ada beragam jenis kue Banjar. Hingga dikenal dengan wadai (kue) 41 macam.
Wadai 41 merupakan kue khas dari seluruh daerah di wilayah Kalimantan Selatan.
Wadai ini menurut Dosen Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat, Mansyur, memiliki sejarah panjang.
Dia mengungkapkan, bagian resep (wadai) sudah turun temurun sejak zaman era Kesultanan Banjar abad ke 16.
Wadai khas Banjar memang mengalami perkembangan dari proses produksinya.
Kalau unsur-unsur bahan pokoknya memang tidak jauh berbeda, tetapi cara pengolahan dan bentuknya bervariasi sejak beberapa abad yang lalu.
Umumnya menurut catatan Mansyur, wadai 41 dikenal seperti bingka, bingka barandam, kararaban, kikicak, bulungan hayam, kelalapon.
Selain itu, cingkarok batu, wajik, apam, undi-undi, untuk-untuk, sarimuka, wadai balapis, cincin, cucur, lamang, cakodok, gaguduh, ronde, ilat sapi, garigit, sasagun, lupis.
Ada lagi lainnya, seperti pais pisang, hintalu karuang, wadai satu, gincil, katupat balamak, bubur sagu, serabi, putri salat, patah, pais sagu, pais waluh, dadar gulung, agar-agar habang, wadai gayam, amparan tatak, sarikaya, serta wadai lainnya.
“Mengutip pendapat Datu Mangku Adat Kesultanan Banjar, H Syarifudin dalam beberapa tulisan lepasnya, adapun bahan dan warna wadai tersebut, tidak sekadarnya,” ujar Mansyur dalam tulisannya ke dapur redaksi apahabar.com.
Demikian juga kata dia, tujuan dan bentuk dari pembuatan wadai serta teknik memasaknya yang khusus.
Akan tetapi, semuanya itu memiliki makna dan nilai filosofis serta mitos tersendiri. Umumnya mengandung nilai manfaat:
1. Mitos Piduduk dan Atur Dahar
Seperti wadai untuk piduduk, sesajian untuk upacara tertentu.
Dipercayai pembuatan wadai tradisional Banjar umumnya memang diproduksi di pedesaan.
Masyarakat di desa masih memiliki kepercayaan dan adat yang turun temurun tertentu terhadap mahluk gaib.
Karena itu dalam upacara adat tentunya harus ada piduduk.
Di antaranya adalah buah kelapa, gula merah, beras, ketan dan telur ayam.
Bahan yang ada di piduduk dibuat Urang (Orang,red) Banjar menjadi wadai tradisional dengan beragam bentuk, bervariasi nama yang berbeda beda.
Karena banyak, maka disebut dengan wadai 41 macam.
Tujuan pembuatan wadai ini sebagai sesajian dan hidangan, sehingga mahluk alam sebelah tidak mengganggu kehidupan urang Banjar yang sudah aman tenteram.
Sebelum masuknya agama Islam masyarakat Banjar menganut animisme, yakni meyakini dan percaya keberadaan makhluk-makhluk halus (gaib) yang kadang bisa mengganggu kehidupan manusia.
Urang Banjar yakin makhluk alam sebelah tersebut sangat suka makanan yang berbahan baku atau mengandung bahan mulai santan, gula merah, ketan, telur serta buah kelapa (piduduk).
Dari bahan itulah menjadi bahan dasar wadai 41 macam.
Ditambah kopi manis-pahit dan disajikan dalam acara atur dahar memberi makan makhluk gaib, yang terkadang disajikan setahun sekali.
Tujuan atur dahar masyarakat akan mendapatkan ketenangan karena tidak akan diganggu makhluk-mahkluk gaib di sekitarnya.
Demikian halnya dalam pengolahan atau pembuatan wadai Banjar.
Kaum ibu yang memasaknya harus bersih, dalam kondisi suci dan tidak haid.
Kemudian pemilihan warnannya, yang memiliki hubungan dengan kelangsungan hidup manusia.
Mulai warna merah, putih, hijau serta warna kuning.
Warna merah, dilambangkan sebagai tersediaanya darah yang mengalir ditubuh manusia.
Warna putih adalah sumsum yang juga sangat penting bagi tubuh.
Warna hijau untuk kesuburan dan kemakmuran sedangkan warna kuning untuk keagungan dan kewibawaan.
Warna tersebut diyakini berpengaruh dalam pertumbuhan dan dinamisasi hidup manusia.
Senada dengan pendapat Joerliani Djohansyah bahwa warna putih melambangkan kebaikan, merah berarti keberanian, hijau bermakna kemakmuran, dan kuning diartikan kemuliaan atau kejayaan. Semua warna melambangkan harmoni kehidupan.
Seiring perkembangan dalam beberapa abad, makanan Banjar umumnya mengalami perubahandari bahannya, bentuk, peralatan hingga cara pengolahannya.
Masakan Banjar dibuat tidak hanya pada momen tertentu.
Walaupun demikian pada sebagaian masyarakat tetap ada adab yang harus dilaksanakan.
Misalnya sebelum dimasukkan ke tempat penyimpanan, diambil sedikit untuk suguhan kepada mahluk alam sebelah.
Atau bisa juga yang memasaknya harus mengatakan “kalau ingin wadai yang mana, silahkan ambil” ditujukan kepada mahluk gaib yang selalu ada di sekitar manusia.
Apa makna istilah 41? banyak versi, seperti budayawan Banjar, Mukhlis Maman beranggapan angka ’41’ itu angka sakral.
Sama sakralnya dengan mitos ‘hari ke-41’ dalam tradisi keseharian Urang Banjar.
Versi lainnya, memang wadai Banjar yang disajikan dalam upacara tradisi budaya dan keagamaan memang variasinya ada 41 jenis.
Bagaimana sejarah wadai 41 dan masakan Banjar lainnya?
“Penggiat kebudayaan Banjar, Joerliani Dyohansyah (alm) pernah mengatakan bahwa tradisi membuat wadai 41 memiliki sejarah,” jelas Mansyur.
Dan ternyata sudah dibuat sejak tradisi Hindu pada masa Kerajaan Negara Dipa di Hujung Tanah, Kalsel.
Waktu itu pembuatan wadai ditujukan untuk mahluk halus/alam sebelah agar tidak mengganggu kehidupan manusia.
Wadai 41 macam ini menjadi warisan tradisi masa Hindu hingga akhirnya Urang Banjar mengenal Islam.
Wadai 41 macam adalah prasyarat dalam setiap ritual, baik sifatnya budaya atau keagamaan.
Terdapat perbedaan dari penyakiannya hingga sekarang.
Mulai berkurang sajian kopi manis dan pahit dalam ritual.
Hal ini karena ada pergeseran nilai makna penyajiannya.
2. Mitos Kepuhunan
Pada masyarakat Banjar, terdapat mitos kepuhunan yang berhubungan dengan makanan.
Apabila seseorang akan bepergian namun tidak sempat mencicipi makanan, maka yang bersangkutan akan terkena musibah.
Agar tidak terjadi musibah, harus mencicipinya walaupun hanya sedikit. ada ungkapan “Rasai dahulu,saikit barang, kaina kapuhunan”. (Dicicipi dulu, nanti di jalan kena musibah, red).
Umumnya urang Banjar dahulu meyakini mitos ini. Walaupun pada sisi lain urusan maut, rejeki, jodoh sudah diatur Allah SWT.
Mitos ini diperkirakan mulai berkembang pada urang Banjar pra masuknya Islam.
3. Mitos Betawaran
Terdapat mitos lain pada masyarakat Banjar. Apabila seseorang melewati lokasi atau tempat angker, harus permisi.
Yang bersangkutan harus berbicara sendiri dan mengatakan permisi kepada penunggu tempat angker tersebut.
Apalagi kalau membawa makanan tertentu yang mengundang hasrat dari mahluk halus untuk mendekati yang bersangkutan.
Di antaranya adalah makanan yang mengandung bahan seperti telor, ketan, daging dan sebagainya.
Adapun kata yang umumnya diucapkan adalah: “Datu umpat lalu, mun handak ngini rasai ha inguhnya, mun kada be banda tu marasainya kada be banda jua”.
Pada urang Banjar yang umumnya beragama islam memang meyakini keberadaan mahluk halus, seperti yang tercantum dalam Alquran.