tan malaka

Tan Malaka, Bapak Republik yang Terlupakan

hancau.net – Ada yang tahu siapa Tan Malaka? Sebagian dari kita lebih mengenal dirinya karena keterkaitannya dengan Partai Komunis Indonesia. Namun, tidak semua yang di buku pelajaran dapat diterima.

Ada beberapa sejarah yang memang disembunyikan untuk melanggengkan kekuasaan. Khususnya di masa orde baru.

SEJARAH AWAL

Pada tahun 1913, Tan Malaka menyelesaikan pendidikan dari Kweekschool / Sekolah Guru Negara di Fort de Kock Bukit Tinggi.

Pada tahun yang sama ia juga mendapat gelar Datuk Sutan Malaka dari garis keturunan sang ibu, yang selanjutnya lebih sering disebut “Tan Malaka” sebagai nama semi bangsawannya.

Bersamaan pula dengan itu, ia juga ditawari bertunangan, hanya saja ia menolak dan tetap konsisten dengan status melajang hingga akhir hayatnya.

PENDIDIKAN

Dirinya menyeberang ke negeri Belanda. Cerita ini bermula ketika seorang guru bernama G.H. Horensma menyadari potensi dari pahlawan nasional yang dijuluki “Patjar Merah Indonesia” ini.

Sehubungan dengan cutinya sang guru, diikutsertakannya pula Tan Malaka ke Belanda dan melanjutkan sekolah ke Rijkskweekschool Haarlem.

Meski terkendala dengan masalah keuangan dan gagal dua kali, namun ia berhasil meraih ijazah untuk menjadi kepala sekolah.

Sekitar tahun 1919 dikarenakan masalah keuangan akibat beasiswa yang dihentikan, ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan menjadi guru anak-anak kaum buruh perkebunan tembakau di Sumatera Timur.

AKTIVITAS POLITIK

Saat berada di Belanda, Tan Malaka memang menaruh perhatian lebih terhadap pemikiran Karl Marx.

Entah sejak kapan, tapi yang pasti di negara yang sedang menjajah bangsanya itu kepribadiannya terbentuk menjadi nasionalis yang berkobar-kobar sekaligus simpatisan komunisme yang aktif.

Selanjutnya ia meninggalkan Sumatera dan hijrah ke Jawa untuk selanjutnya merapat ke Sarekat Islam (SI), di tahun 1921 cikal bakal PKI muncul dari rahim Sarekat Islam.

Sebagai dampak dari perbedaan ideologi, SI sendiri terbagi menjadi dua.

Bagian yang kita kenal dengan nama Sarekat Islam Merah itulah yang nantinya akan menjadi PKI di bawah pimpinan Semaoen. Tan Malaka lebih condong ke PKI.

Tan kemudian mendirikan sekolah-sekolah Marxis untuk anggota SI atas saran dari Semaoen. Dikarenakan keberhasilannya, nama Tan Malaka melambung dan terpilih menjadi ketua PKI menggantikan Semaoen di penghujung tahun 1921.

Semaoen dan Tan Malaka memang sama-sama pernah memimpin PKI, hanya saja mereka punya cara yang berbeda.

PENGASINGAN

Singkat cerita atas perintah Gubernur Dirk Fock, Tan Malaka diasingkan ke Belanda pada Maret 1922.

Bukannya menciut, tapi semangat perjuangannya justru semakin membara. Terbukti dengan aktifnya Tan dalam berbagai aktivitas politik.

Ia pernah dicalonkan menjadi anggota Tweede Kamer atau Majelis Rendah dari golongan komunis pada pemilu bulan Juni 1922.

Tidak hanya di Belanda, ia pernah melancong ke Jerman dan melamar menjadi anggota Legiun Asing tetapi ditolak.

Nopember 1922, Tan Malaka menghadiri Konferensi Komunis Internasional (Komintern) di Moskow mewakili PKI untuk diangkat menjadi wakil Komintern untuk wilayah Asia Timur pada Desember 1923.

Tan pelan-pelan terbenam dalam lumpur 24 identitas samaran.

Tindakannya saat bangun tidur ialah mengingat-ingat jadi siapa dia hari ini, demikianlah sebuah penggalan dalam novel “Tan, Gerilya Bawah Tanah” Sekuel Tan sebuah novel yang ditulis oleh Hendri Teja.

Penggalan tersebut secara terang menjelaskan kisah Tan Malaka yang saat itu dikejar-kejar intelijen polisi goverment sampai harus berpindah-pindah sambil menyembunyikan identitas dirinya.

Pasca insiden pemberontakan  1926-1927, Tan Malaka melanjutkan perjuangan di berbagai tempat.

Saat di Filipina ia menggunakan nama Elias Fuentes, Estahislau Rivera, Alisio Rivera.

Ketika di Singapura, ia menggunakan nama Hasan Gozali, Ossario saat di Shanghai, dan Ong Song Lee dengan 13 varian saat berada di Hongkong.

Bahkan saat kembali ke tanah air pun ia masih saja menyamar dengan nama Ilyas Hussein.

FASE PKI

Faktanya, sejak berdiri tahun 1914 hingga dibubarkan di tahun 1965, ada 3 fase yang dilalui PKI. Fase penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, dan fase kemerdekaan.

Sehubungan dengan cita-cita untuk lepas dari penjajahan Belanda, pada 25 Desember 1925 di bawah pimpinan Sarjono, PKI merencanakan pemberontakan.

Namun rencana tersebut tidak disepakati oleh Tan Malaka karena menurut pertimbangannya saat itu PKI belum siap.

Benar saja, pemberontakan yang dilakukan pada 1926 tersebut menemui kegagalan. Setelahnya Tan Malaka dipecat dari PKI.

Tan Malaka mendirikan sejumlah partai, termasuk partai rakyat setelah gagal mengambil alih PKI.

Sejumlah partai yang melebur dengan misi yang sama ke dalam partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) yang dideklarasikan pada 7 Nopember 1948.

Tan Malaka memiliki banyak buah pikiran yang ia tuangkan ke dalam buku yang beberapa di antara hasil karyanya menginspirasi pergerakan di indonesia.

Hampir tak ada bedanya dengan yang dilakukan Tirto Adhi Soerjo.

MENJADI INSPIRASI BAGI PENDIRI BANGSA

Bung Karno pernah mengutip beberapa hal dalam buku yang ditulis oleh Tan di dalam pledoinya di Landraad yang diberi judul “Indonesia Menggugat”.

Buku yang sama juga mengilhami frasa “Indonesia tanah tumpah darahku” dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya ciptaan W.R. Supratman.

Sementara di dalam buku “Naar de Republiek Indonesia: Menuju Republik Indonesia”, Tan menawarkan konsep tentang negara Indonesia yang kemudian menginspirasi Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan kawan-kawan.

Tidak hanya itu, di dalam buku yang terbit pada tahun 1925 tersebut juga berisi analisis Tan Malaka terhadap politik internasional.

16 tahun setelah buku ini dicetak, analisis Tan Malaka tentang meletusnya Perang Pasifik dalam rangkaian perang dunia ke 2 benar terjadi.

Meski telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh Soekarno, namanya kembali tenggelam di era Soeharto sampai sekarang.

Di luar latar belakang komunis, faktanya Tan Malaka lebih dikenal dengan gerakan bawah tanahnya.

Seseorang yang bahkan dianggap oleh sebagian kalangan dengan sebutan “the truth of founding father of Indonesia” ini menulis buku MADILOG.

Tujuannya tidak lain dan tidak bukan, soal analisisnya tentang masyarakat Indonesia yang cenderung belum terbiasa berfikir kritis, tidak logis, juga rasional serta belum mampu berdialog secara sehat.

Setelah proklamasi kemerdekaan, Tan terjun langsung ke masyarakat untuk mengobarkan semangat kemerdekaan hingga status kemerdekaan diakui secara internasional. (fix)

Editor: