Banjir Kalsel

Banjir Kalsel di Mata Najwa: Ini Cerita Korban, Relawan, dan Aktivis WALHI

hancau.net – Banjir luar biasa yang melanda provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel), mendapat perhatian besar dari berbagai kalangan. Baik itu jurnalis, aktivis, pegiat komunitas, pejabat, hingga artis nasional dan lokal. Banjir Kalsel tahun ini merupakan banjir terbesar sepanjang 50 tahun terakhir.

Beberapa waktu yang lalu Najwa Shihab di dalam acaranya yang ikonik Mata Najwa, mengangkat persoalan banjir Kalsel ini ke lingkup “nasional”. Mungkin karena ini dianggap salah satu bencana nasional.

Bagaimana tidak, menurut pantauan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), luasan area banjir Kalsel mencapai hingga 183 ribu hektare. Area itu 12 kali lipat lebih luas ketimbang banjir yang terjadi di kota Jakarta awal tahun 2020 lalu. Bahkan lebih besar daripada Jakarta itu sendiri.

Rabu, (20/01/2021) acara mata najwa mengangkat tema “Dikepung Bencana”. Mengangkat beberapa persoalan bencana alam yang terjadi di seluruh Indonesia, salah satunya banjir di Kalsel.

Di dalam acara yang digelar secara virtual tersebut, Nana begitu sapaan akrabnya,  menghadirkan beberapa orang relawan, korban bencana, dan aktivis WALHI. Ada Edo Rahman, Koordinator Kampanye WALHI. Selain itu, ada Norjannah dan Ahmad Ramadani yang rumahnya masih terendam banjir.

 

Kisah Norjannah dari Banjarmasin

Menurut ceritanya, ibu Norjannah dan keluarga memutuskan mengungsi ke rumah keluarga ketika air baru mencapai ketinggian 20cm di dalam rumah. Keputusan tersebut, mengingat beliau dan keluarga tinggal di daerah rawa. Dan benar, air cepat sekali meluap ke atas hingga 1 meter.

Ibu Jannah yang berprofesi sebagai petani harus merelakan lahan dan bibit yang baru ditanamnya di lahan persawahan. Saat ini ketinggian air di lahan persawahannya mencapai leher orang dewasa.

“Saya sejak berumur 5 tahun hingga seusia sekarang, belum pernah mengalami banjir separah ini,” cerita Norjannah kepada Mata Najwa.

Menurut wanita asal Tabalong ini, di daerah asalnya beberapa tahun terakhir memang sering terjadi banjir. Dia berpendapat, bahwa banjir ini kemungkinan kiriman dari bagian hulu / atas. Ditambah lagi dengan curah hujan yang intensif sehingga membuat air turun ke Banjarmasin melebihi kapasitas.

Selain itu, ibu Jannah juga menyinggung soal faktor alam yang sudah tidak terjaga lagi. Pohon-pohon yang ditebang untuk keperluan pertambangan membuat daerah resapan air berkurang. Sehingga tidak ada lagi yang dapat menampung air hujan yang turun dari atas.

 

Kisah Ahmad dari Bincau, Kabupaten Banjar

Berbeda dengan ibu Norjannah, Ahmad dan segenap warga Bincau mengungsi ke sebuah komplek perumahan yang belum ditempati pemiliknya. Dirinya memutuskan untuk mengungsi karena air yang masuk ke dalam rumah sudah mencapai dada orang dewasa.

Menurut pengakuannya, banjir kali ini merupakan banjir terparah yang pernah terjadi seumur hidup ia tinggal di Bincau, kabupaten Banjar.

Ahmad berpendapat, banjir ini karena hujan yang tidak berhenti selama beberapa hari, sehingga debit air terus meningkat. Selain itu, Ahmad juga menyinggung tentang berkurangnya hutan tadah hujan di daerahnya.

Selain korban banjir, Mata Najwa juga menghadirkan relawan dari BALAKAR 654, Iwan Rey.

Iwan melaporkan saat ini keadaan banjir di Banjarmasin sudah mulai berkurang, walaupun air pasang masih terus berlangsung hingga saat ini dalam waktu-waktu tertentu.

Bagaimana dengan keadaan lingkungan? Edo Rahman dari WALHI ikut menjabarkannya.

“Menurut pengamatan dari teman-teman WALHI di Kalsel, hampir setengah dari daratan di Kalsel sudah dimasuki aktivitas ekstraktif. Tentu saja ini menjadi salah satu faktor besar yang mengakibatkan banjir luar biasa yang terjadi di sana,” ungkap Edo.

Sumber: Mata Najwa

Editor:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *