BORNEO online, Hulu Sungai Selatan – Hujan mengguyur deras ketika Bakeri memacu jukung bermesin tempelnya menyusuri perairan rawa lebak pada Minggu sore (3/1/2021). Lokasinya di kawasan Ray 10 Desa Baruh Jaya, Kecamatan Daha Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan.
Dikutip dari laman banjarhite.com, berangkat dari rumah Bakeri, kami — saya, Bakeri, dan rombongan– butuh waktu 60 menit menuju ladang pertaniannya di kawasan Ray 10. Lahan pertanian itu terhampar di tanah rawa lebak.
Tiba di sana, kami disambut nyamuk besar-besar. Entah apa nama jenis nyamuknya. Saya terkejut mendapati nyamuk-nyamuk rawa lebak begitu agresif menyerang manusia.
Seketika, saya membayangkan sulitnya bertani di hamparan rawa lebak macam di Nagara — sebutan lain Daha Selatan. Kami kesana meninjau titik survei seismik 2D Pertamina yang sedang dikomplain petani setempat, termasuk Bakeri.
Lantaran kehujanan, kami berteduh sejenak di gubug milik Bakeri yang berdiri di ladang. Di gubug itu, kami bakar kayu untuk bahan bakar merebus air.
Kami menyeduh kopi sebagai penghangat tubuh. Dugaan saya sulitnya bercocok tanam di Daha memang benar, setelah dua petani mengonfirmasinya lewat cerita.
“Kalau musim kemarau, kita bisa tinggal di ladang seminggu. Nyamuknya banyak, kita menyebut nyamuk warik dan nyamuk putih. Kalau musim hujan, setiap hari pulang ke rumah,” kata petani Mahyuni kepada banjarhits.com, Minggu (3/1/2021).
Mahyuni dan petani lain memang tinggal di ladang saat musim kemarau. Sebab, air rawa sedang surut, sehingga memicu jukung petani kesulitan menyusuri perairan rawa lebak. Adapun saat penghujan, debit air penuh, sehingga jukung gampang menyusuri perairan rawa.
“Kalau musim hujan jalanan air nyaman karena air pasang. Kalau musim kemarau air sungai surut, jadi perahu sulit melintasi sungai,” kata Mahyuni. Alhasil, ia menyiapkan logistik macam beras, pisang, tepung, kopi, teh, mi instan, dan gula untuk kebutuhan satu pekan saat tinggal di gubuk.
Petani lain, Ramli, menambahkan bertani di rawa lebak butuh biaya banyak. Setiap hari, ia butuh premium 3 liter untuk pergi-pulang dari dan ke ladang pertanian pakai jukung. Bertolak pukul 06.00 wita, Ramli baru pulang ke rumah sekitar pukul 15.00 wita.
Itu masih dana BBM untuk jukung bermesin. Belum lagi biaya produksi pertanian yang menelan dana jumbo ketimbang lahan pertanian di Pulau Jawa. Mahyuni, misalnya, butuh duit Rp 60 juta untuk menggarap lahan 9 hektare yang ditanami gumbili alias ketela.
Dana ini dibuat upah buruh tani, pemupukan, dan kebutuhan lain. Petani Nagara menerapkan pola tanam menyesuikan kondisi rawa lebak. Soal pemupukan, kata Mahyuni, paling mengurasi kantong karena perlu pupuk banyak untuk meningkatkan kesuburan tanah.
Biaya produksi pertanian sebanyak itu terkadang tak sebanding dengan untung yang diterima. Maklum, petani masih tergantung tengkulak dalam rantai bisnis pertanian.
Bakeri, salah satu contoh petani yang tak beruntung saat menanam waluh. Saat ini, waluh per buah cuma dihargai Rp 2.000. Alhasil, Bakeri menumpuk puluhan waluh di bawah gubuknya.
Ia tidak melego buah waluh itu karena tak mendapat untung. “Saya ambil bijinya saja. Enggak ada untung, cuma Rp 2.000 per buah saja,” kata Bakeri.
Editor: Ghaf