Mengenang Detik-Detik Kewafatan Abuya Maliki di Jumat 15 Ramadan

apahabar.com, BANJARMASIN – Wafat di hari dan bulan mulia adalah keberkahan tersendiri bagi Sayyid Muhammad bin Alawi Al Maliki atau Abuya Maliki. Menariknya, ulama besar Makkah ini seolah sudah mengetahui hari kewafatannya.

Berikut penuturan saksi mata hari-hari terakhir Abuya Maliki, Habib Hamid bin Zaid seperti ditulis Abdul Hamid Mudjib Hamid Al-Ishaqy.

Pada 10 Ramadhan, Abuya Maliki memanggil Habib Hamid bin Zaid untuk salat tarawih bersama dan menyuruhnya melaksanakan umrah kedua kalinya. Sebelum Habib Hamid bin Zaid beranjak, Abuya Maliki berpesan agar kembali menegakkan salat Subuh berjemaah bersamanya.

Mendengar penuturan itu, Habib Hamid bin Zaid menyampaikan keinginannya sekaligus meminta izin silaturrahim ke saudara-saudara istrinya di Jeddah. Namun, Abuya Maliki hanya memberi isyarat tangan dan wajah menunduk. Melihat hal itu, Habib Hamid bin Zaid berasumsi bahwa Abuya Maliki tidak mau mengizinkan tetapi tak mau mencegah. Demi menyenangkan hatinya rencana tersebut digugurkan.

Subuh 11 Ramadhan, Abuya Maliki terkejut melihat Habib Hamid bin Zaid berada di sampingnya untuk salat Shubuh bersama. “Kamu tidak jadi pergi ke Jeddah?”, tanyanya heran.

“Tidak Abuya,” sahut Habib Hamid bin Zaid.

“Bagus!” jawab Abuya Maliki semringah seraya memeluknya.

Malamnya, seperti sebelumnya, berjemaah salat tarawih bersama diakhiri dengan membaca qasidah Sayyidah Khadijah Al-Kubra serta diperintahkan kembali untuk melaksanakan umrah kali ketiga.

Akan tetapi, pada 12 Ramadan firasat tak enak mulai menyeruak saat Abuya Maliki menyuruh Habib Hamid bin Zaid umrah keempat dengan imbuhan kata umrah terakhir atas perintahnya. “Husnudzon”, hanya itu yang menguatkan batin Habib Hamid bin Zaid.

Kembali terulang, Abuya Maliki menunjuk Habib Hamid bin Zaid menjadi imam tarawih di antara kurang lebih 200 jemaah yang sebagian besar adalah tamu-tamu Abuya Maliki. Kali ini suasananya beda dari sebelumnya, Abuya Maliki tak membaca salawat dan qasidah melainkan meminta murid-muridnya; Bilal, Burhan, Habib Aqil Al-Atthos dan satu murid asal Kenya untuk membacakan secara bergiliran.

Saat itu, Abuya Maliki benar-benar terlihat kelelahan. Maklum tamunya tak berhenti berdatangan dari berbagai penjuru bahkan di sela waktunya masih istiqomah menulis dan membaca kitab berbagai karangan –tak ayal jika perpustakaan di rumah tinggalnya sampai membutuhkan tiga lantai bahkan kamarnya pun penuh dengan kitab-kitab– akhirnya kelelahan yang melanda Abuya Maliki mengantarkannya masuk rumah sakit untuk menjalani pemeriksaan. Menurut dokter kondisinya cukup baik hanya perlu istirahat di rumah sakit.

Kamis 14 Ramadhan, istri dan keluarga Abuya Maliki menjenguk termasuk Habib Hamid bin Zaid. “Apa kabar Hamid bin Zaid, kamu betah di sini?” tanya Abuya Maliki kala melihatnya. Beliau terlihat sangat gembira tak seperti orang sedang sakit.

“Kami tidak lama di rumah sakit, karena istri dan anak-anak Abuya akan berziarah ke Ma’la, ke makam Sayyidah Khodijah Al-Kubra. Ziarah kali ini aneh. Biasanya istri Abuya itu tidak pernah turun dari mobil. Beliau membaca salawat dan qasidah dari dalam mobil. Eh, hari itu beliau dan semua anggota keluarga bersama-sama membaca Al-Fatihah di makam istri pertama Rasulullah,” cerita Habib Hamid bin Zaid.

“Malamnya, murid dan kerabat beliau berkumpul di rumah akit. Wajah beliau tak berubah, tetap gembira. Sekitar jam 20.00 dokter datang, dan mengatakan bahwa Abuya sudah sembuh. Kami semua memekik Allahu Akbar!” imbuh Habib Hamid bin Zaid.

Di luar rumah sakit sesaat kemudian, Abuya Maliki meminta izin pada dokter untuk menengok keluarga dan murid-muridnya. Tepat jarum jam menunjuk ke pukul 00.00, beliau keluar dari rumah sakit. Sebelum akhirnya masuk ke mobil, Abuya Maliki menghadapkan pandangan ke langit selama dua menit (kurang lebih). Melihat Abuya yang demikian membuat Bilal yang menemaninya berani bertanya, “Ada apa, Abuya?”. “Tidak ada apa-apa,” singkatnya.

Saat itu, purnama tak seelok biasanya. Selimut awan mengurangi keindahan malam purnama. Dalam beberapa hari terakhir, Abuya Maliki sering meminta agar murid-muridnya melihat bulan, dan bertanya apakah bulan sudah kelihatan.
Dari rumah sakit, beliau tidak langsung ke rumah melainkan ke pondok pesantren asuhannya guna menemui murid-muridnya. Saat jam 03.00 pagi, “Saya sendiri yang membukakan pintu gerbang. Setelah itu, datang Sayyid Abbas Al-Maliki bersama keluarga yang lain. Kami bersama-sama membaca qasidah, lalu terlibat dalam obrolan yang sesekali diselingi dengan tertawa lebar,” cerita Habib Hamid bin Zaid mengenang peristiwa detik-detik terakhir.

Pertemuan kala itu diakhiri dengan sahur bersama. Kemudian Abuya Maliki menyuruh semuanya istirahat untuk persiapan salat subuh. Abuya Maliki sendiri masik ke kamar kerjanya ditemani Bilal dan Burhan. Tak lama setelah itu, Bilal diminta keluar dari kamar. Tinggallah berdua dengan Burhan. “Hai Burhan, aku sebaiknya istirahat di kursi atau di bumi (karpet)?” tanya Abuya Maliki pada Burhan.

Burhan kebingungan dalam menjawab pertanyaan sebab bagaimana mungkin seorang murid memutuskan untuk maha gurunya. “Terserah Abuya,” jawaban itulah yang jadi pemungkas.

“Aku akan istirahat di bumi saja,” tutur Abuya Maliki. Beliau pun duduk menghadap kiblat dengan bersandar. Sesaat, sempat mengambil buku dari tangan Burhan, tapi kemudian diletakkan di meja.

Hari Jumat tepat 15 Ramadhan 1425 H, saat pagi mulai menampakkan kegagahannya memulai kehidupan, Abuya Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki menutup usia dengan “Lailaaha illallah” sebagai kalimat terakhirnya. Seperti sudah ada tanda-tanda dirasakannya, pada malam harinya beliau secara sengaja tak mengajar kitab-kitab melainkan banyak menceritakan perihal surga dan hasrat kerinduan ingin berjumpa dengan ayahanda tercinta, Assayyid Alawi Al-Maliki Al-Hasani.

Jenazah Abuya Maliki langsung dibawa ke rumah sakit dan usai salat subuh ambulans tiba di kediaman Abuya Maliki.

“Saya pingsan. Ya, sepertinya, pertemuan saya dengan beliau hanya untuk mengantarkan jenazahnya ke Ma’la, tempat beliau dimakamkan dekat dengan makam Sayyidah Khadijah Al-Kubra yang qasidahnya dibaca setiap kali selesai salat Tarawih,” kenang Habib Hamid bin Zaid.

Editor:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *