Buruh Kalsel Respon Upah Minimum Naik Rp 10 Ribu

BORNEO online, Banjarmasin – Aliansi Pekerja Buruh Banua (PBB) di Kalimantan Selatan (Kalsel) berang. Mereka kecewa oleh rekomendasi Dewan Pengupahan Provinsi Kalsel (Depeprov) terkait upah minimum provinsi (UMP).

Dewan Pengupahan Provinsi Kalsel (Depeprov) dilaporkan hanya menaikkan UMP sebesar Rp 10.000 per bulan atau Rp 333/hari di tahun 2021.

“Hal itu merupakan suatu pelecehan kaum buruh Banua Kalsel,” ujar Presidium Aliansi Pekerja Buruh Banua (PBB) Kalsel, Yoeyoen Indharto, dikutip dari apahabar Selasa (27/10).

Selain itu, mereka juga menyayangkan sikap Menteri Tenaga Kerja (Menaker) RI, Ida Fauziah yang mengeluarkan surat edaran Nomor 11/HK04/X/2020 terkait tidak adanya kenaikan UMP pada 2021 akibat pandemi Covid-19.

“Menaker RI tidak memiliki sensitivitas terhadap nasib buruh, hanya memandang kepentingan pengusaha semata,” keluhnya.

Menurut Yoeyoen, pengusaha memang sedang susah. Tapi buruh juga jauh lebih susah. Seharusnya pemerintah bisa bersikap lebih adil dengan tetap adanya kenaikan 2021.

Dia juga mengatakan, bagi perusahaan yang tidak mampu maka dapat melakukan penangguhan dengan tidak menaikkan upah minimum setelah berunding dengan serikat pekerja di tingkat perusahaan dan melaporkannya ke Kemenaker.

“Jangan dipukul rata semua perusahaan tidak mampu. Faktanya di tahun 1998 pun tetap ada kenaikan upah minimum untuk menjaga daya beli masyarakat,” tegas pria yang merangkap ketua DPW Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kalsel ini.

Isi surat edaran Menaker RI tersebut meminta kepada seluruh gubernur untuk melakukan penyesuaian penetapan upah minimum tahun 2021 sama dengan nilai upah minimum tahun 2020.

Kemudian, melaksanakan penetapan upah minimum setelah 2021 sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan dan menetapkan serta mengumumkan UMP 2021 pada 31 Oktober 2020 nanti.

Yoeyoen turut mempertanyakan, apakah keputusan Menaker RI tersebut sudah diketahui oleh Presiden Joko Widodo.

“Apakah presiden sudah mengetahui keputusan Menaker ini? Atau hanya keputusan sepihak Menaker?” imbuhnya.

Oleh sebab itu, 23 Oktober kemarin, mereka pun melayangkan secarik surat kepada Gubernur Kalsel.

“Kami meminta kepada Gubernur Kalsel, untuk tidak menanggapi rekomendasi Depeprov Kalsel terkait kenaikan UMP Kalsel yang hanya Rp 10.000 serta,” ujar Yoeyoen.

Dengan semua itu Yoeyoen menegaskan buruh akan semakin melawan untuk melakukan penolakan terhadap upah murah dan omnibus law UU Cipta Kerja.

“Kami meminta kenaikan UMP minimal 8 persen,” ucapnya.

Terdapat empat alasan mengapa upah minimum tahun 2021 harus naik. Jika upah minimum tak naik, kata dia, hanya akan menambah kegerahan kaum buruh yang tengah memperjuangkan penolakan UU Cipta Kerja.

“Seiring dengan penolakan omnibus law, buruh juga akan menyuarakan agar upah minimum 2021 tetap naik. Sehingga aksi-aksi akan semakin besar,” tandasnya.

Kedua, alasan pemerintah tidak menaikkan upah karena saat ini pertumbuhan ekonomi minus, menurutnya, tidaklah tepat.

“Bandingkan dengan apa yang terjadi pada tahun 1998, 1999, dan 2000,” ujarnya.

Sebagai contoh, kata dia, dari 1998 ke 1999 tetap naik. Padahal pertumbuhan ekonomi tahun 1998 minus 17,49 persen.

Begitu juga dengan upah minimum tahun 1999 ke 2000. Upah minimum tetap naik sekitar 23,8 persen.

“Padahal pertumbuhan ekonomi tahun 1999 minus 0,29 persen,” lanjutnya

Ketiga, bila upah minimum tidak naik maka daya beli masyarakat akan semakin turun.

Daya beli turun akan berakibat jatuhnya tingkat konsumsi.

“Ujung-ujungnya berdampak negatif buat perekonomian,”

Dan keempat, tidak semua perusahaan kesulitan akibat pandemi Covid-19. Oleh karena itu, dia meminta kebijakan kenaikan upah dilakukan secara proporsional.

Editor: